Pertama, Allah SWT menyuruh ibunda Musa untuk menyusui Musa yang masih bayi itu. Lalu ia pun menyusui Musa agar 'mengumpulkan' air susunya. Namun yang terjadi kemudian Musa tidak pernah menerima air susu siapapun, selain air susu ibunya. Kalau saja Allah swt tidak menyuruhnya menyusui Musa, tentunya lebih baik menyuruh orang lain (baik khadimah/babysitter, atau orang lain) yang menggantikan posisinya. Tapi itu tidak terjadi.
"ini adalah suatu isyarat tentang keyakinan yang mantap kepada Allah swt. Keyakinan atau tsiqah: adalah salah satu bentuk penyerahan diri secara mutlak". Tidak bersedih akan masa lalu, tidak takut akan masa depan. Risalahlah yang menjadi tujuan utama. Musa sudah masuk 'nominasi' untuk meraih gelar kenabian.
Lalu, Musa mencapai usia akil baligh, beroleh kesempurnaan akal, kearifan dan hikmah. Tentu semua berkaitan dengan hati ibu yang (sekalipun) naluri keibuannya terus dipicu konflik. Komposisi hati tersusun diantara emosi atau rasa, sementara –barangkali- emosinya kontradiksi dengan keputusannya yang tiba-tiba. Maka, binasa sudah langkah establisasi untuk sang anak tercinta, hancur lebur hatinya menghadapi purna kejutan: ketika kecil, sang anak dihantui teror, ketika dewasa dalam bayang-bayang keganasan Firaun.
Tapi Musa tetaplah Musa. Kendati berada dalam asuhan istana sang raja, selain fisiknya kuat, hati dan spiritualitasnya tetap terjaga, tidak terkontaminasi arogansi Firaun, manusia yang mengaku Tuhan itu. Musa tak perlu hidup di zaman ini, yang mengenal agama sebagai "the ultimate thing" doang. Setelah itu, hilang bersama fulus atau hujan Dollar.
Di balik kesempurnaan jasad dan ruh tersebut terkandung hikmah, yaitu, proses permulaan 'pengembalian' (intikas) kepada bentuk asal, seperti dalam firman Allah swt:
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan mereka kepada kejadian(nya). (QS. 36[Yaasin]:68).
Maksudnya: Kami hentikan, tidak Kami tambahkan lagi kekuatan fisik dan mentalnya, juga tidak Kami kurangi, kecuali para nabi. Dalam pengertian lainnya, Musa as memang tengah berada di usia 'stabil'. Masa mudanya sudah berlalu, akalnya sudah matang, jiwanya sehat, dan inderanya walafiat. Sampai pada batas dimana naluri manusia tidak bisa bertambah lagi, kecuali para nabi.
Begitu juga Musa alaihissalam.
Ini menjadi pelajaran bagi "manusia" sesudahnya: agar memilih target masa panjang dipersenjatai dengan agama, norma dan good morality, yang memungkinkannya meniti anak tangga menuju ke ketinggian martabat.
***
Sekarang timbul pertanyaan. Dalam surah Yusuf ayat 22 disebutkan: Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu, tanpa menyebutkan "…dan sempurna akalnya" (seperti yang tertera dalam surah Al-Qashash mengenai kisah nabi Musa as di atas). Mengapa?
Ahli tafsir memahami bahwa itu untuk menarik perhatian umat Islam sebagai manusia yang memiliki naluri hubbul istithla' (hobi mengeksplorasi), sampai hati kita tenang. Ayat itu juga tidak perlu diperbandingkan, karena wahyu memang berbeda. Wahyu yang diturunkan kepada nabi Yusuf as adalah "wahyu ilham", sementara wahyu untuk Musa as adalah "wahyu risalah". Itu artinya bahwa wahyu risalah diperlukan nadj (kematangan berfikir) dan istiwa (kesempurnaan akal), berbeda dengan wahyu ilham yang tidak memerlukan dua hal tersebut.
Dengan kata lain, Yusuf as tidak perlu sampai menunggu kesempurnaan akal setelah ia mencapai akil baligh. Terbukti, ketika Yusuf dilemparkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat itu wahyu turun:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi". (QS. 12:15).
Benar, karena manakala Yusuf bermimpi melihat bintang gemintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya, langsung ia ceritakan kepada ayahnya.
Adapun Musa as., saat akil baligh dan berfikir matang, sama sekali tidak melakukan hal tersebut, karena ia sendiri tidak tahu apa yang dikehendakinya kecuali sesudah memasuki usia senja, melewati masa perbudakan, berjalan bersama keluarganya, hingga melihat api di lereng gunung Tursina. Wallahu a'lam. []- Taufiq Munir