29 Juli 2010

ARAB DAN PEMIKIRAN SEJARAH


22.42 |

Sosiohistoris versi Abdullah Laroui
Oleh Taufik Munir


Sekulum Sapa

Sebagaimana diketahui, bahwa semenjak Sosiologi dijadikan sebagai disiplin ilmu tersendiri dengan August Comte (lahir di Montpellier, Perancis, 19-1-1798 dan wafat di Paris, 5-9-1857) sebagai bidannya, ilmu humaniora ini menjadi trend, setelah banyak pemikir-pemikir di Barat lainnya mengikuti jejak sang bapak Sosiologi. Dengan asumsi yang mensinyalir ilmu ini, dengan segala keterbatasannya, bisa dijadikan sebagai pisau analisis terhadap pemikiran dan kondisi suatu masyarakat, tidak sedikit para pemikir Islam yang menggunakan metode ini untuk mengkaji pemikiran Islam secara lebih komprehensif.
Sebagian secara gamblang menyebut istilah Sosiologi, seperti Mahmud Ismail yang menulis buku Susiuyulujiyâl Fikrul Islamiy, ada pula yang menggunakan istilah lain, seperti ‘kesadaran sejarah’ atau ‘pemikiran sejarah’ seperti yang dipakai oleh Abdallah Al-‘Urwi (dalam bahasa Prancis al di ganti dengan La menjadi Laroui dan ini yang dipakai oleh penulis selanjutnya).
Pemikir yang tersebut terakhir ini menjadikan sejarah sebagai senjata untuk mengkaji pemikiran Islam. Hal ini karena Laroui memandang Sosiologi dan sejarah bagaikan mata rantai yang tak dapat dipisahka. Lebih dari itu, sejarah yang dimaksud Laroui tidak seperti yang dipahami oleh pemikir-pemikir lainnya.

Laroui dan Karyanya

Laroui adalah salah seorang pemikir Islam Maroko kenamaan, meskipun masih berada dalam bayang–bayang nama beken lainnya, seperti M. Abid Al-Jabiri yang berasal dari negara yang sama. Hal ini karena memang bidang garapan dia berbeda dengan nama terakhir ini. Laroi memiliki spesialisasi sejarah. Di kalangan sejarawan modern, namanya selalu diperhitungkan, menjadi dosen di Universitas Mohamad V, Kasablanka, Maroko.
Penulis belum menemukan data yang pasti kapan Laroui lahir, tapi dari beberapa karyanya yang diterbitkan sekitar tahun 1970an, seperti The History of The Maghrib: An Interpretive Essay (1977; originally published in French, 1970), La Crise des Intellectuels Arabes: Traditionalisme ou Historicisme (Paris, 1974)1 dan L'Ideologie Arabe Contemporaine (Paris, 1976),2 kita bisa mentaksir kelahirannya sekitar  tahun 1940-an, semasa dengan M. Abid Jabiri dan Arkoun.
Laroui adalah salah satu dari sekian banyak intelektual yang merasa prihatin akan multi krisis —terutama krisis pemikiran— yang menimpa dunia Arab, lebih khusus tanah kelahirannya, Maroko. Bagaimana Islam yang selalu identik dengan Arab sampai sekarang masih berkutat di tempat dan ‘betah’ menjadi subordinat orang lain (Barat), dan menjadi masyarakat nomer dua. Persoalan Palestina tidak kunjung usai, Amerika menduduki Irak, dan masih banyak lagi  problem Timur Tengah lain yang lumayan kompleks. Di manakah titik kesalahannya? Apakah di ideologi? Ataukah karena salah memandang dan menyikapi sejarah? Apakah yang dimaksud sejarah? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab oleh pemikir yang digolongkan sebagai Marxis Arab ini.2a

Arab dan Sejarah

Istilah Arab di sini lebih ditekankan pada satu rumpun yang mempunyai kesamaan bahasa dan budaya, bukan kesamaan ideologi Islam. Karenanya Persi, Turki, Pakistan dan lain sebagainya –meski termasuk dalam liga Arab, karena kesamaan ideologi Islam, tetapi mereka mempunyai masa lalu dan sudut pandang terhadap sejarah yang berbeda sama sekali dengan sudut pandang masyarakat Arab.
Sementara kata sejarah, sebagaimana yang selama ini dipahami, mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, rentetan peristiwa dan kejadian yang terjadi di masa lampau. Pengertian kedua, cara mengungkapkan peristiwa tersebut. Dengan arti ganda ini, Laroui memandang banyak  pemikir menghadapi banyak kesulitan ketika berusaha mengupas substansi sejarah. Sebab, peristiwa itu bisa diketahui dan 'diraba’, setelah diceritakan, baik melalui lisan maupun tulisan. Dan setiap peristiwa itu bisa menjadi ‘peristiwa’, ketika dideskripsikan.
Lebih lanjut Laroui ingin memisahkan antara sejarah sebagai kajian terhadap masa lalu dengan sejarah sebagai cara pandang umum masyarakat. Sejarah sebagai ilmu dan sejarah sebagai sarana mengevaluasi masa kini dan menetapkan masa depan.4 Pembagian itu hanya bersifat abstrak (tajridi), karena ketika berhadapan dengan realita, keduanya menyatu dalam penulisan sejarah.
Adapun yang dimaksud dengan cara pandang (nadzrah) di atas, bukan filsafat sejarah seperti yang kita dapatkan dari Hegel (1770-1831). Karena filsafat sejarah bersifat individu, sementara "cara pandang" bersifat umum dan berada di bawah sadar. Dari sanalah Laroui mencoba untuk ‘membaca’ masyarakat Arab pada masa-masa keemasan dan masa kini.

I.        Sejarah dan masyarakat Arab pada masa-masa keemasan.

Disebutkan oleh Laroui bahwa penulisan sejarah Islam adalah murni kreatifitas Arab. Tidak ditemukan faktor-faktor luar, seperti Persia ataupun Yunani. Dengan kata lain, sejarah Islam tidak diadopsi dari luar. Dari sini, wajar kalau orang Arab bangga mengakui dirinya sebagai pemilik sejarah, sementara bangsa lain tidak memiliki kecuali mitos-mitos dan khurafat yang tidak mungkin dikaji kebenarannya. Tetapi faktor apa yang mendorong bangsa Arab menggarap sejarah?
Ada tiga faktor penting yang menstimulus orang Arab menyusun sejarah. Pertama: Sejarah sebagaimana Nahwu, yaitu ilmu pendukung memahami ilmu-ilmu agama. Contohnya, (a). dalam bidang ibadah, kita tahu bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, tetapi secara periodik, sesuai dengan konteks budaya pada saat itu (asbabunnuzul). Banyak terjadi perubahan-perubahan hukum, dari makna umum ke makna khusus, dari hukum yang keras ke yang ringan dan lain sebagainya (nâskh wa  mansûkh). Dari sini, kita perlu membedakan mana ayat yang turun lebih dulu, dan mana yang turun kemudian.
(b). Kaitannya dengan hak individu; ketika Umar membuat list sahabat-sahabat yang berhak mendapatkan hak dari pemerintah dengan memprioritaskan yang pertama memeluk Islam dan seterusnya.
(c). Berkaitan dengan kepentingan umum; masyarakat yang mengikuti ketentuan-ketentuan Islam akan mendapatkan hak-hak yang luar biasa sesuai dengan kondisi pembebasan (fath), terutama yang berkaitan dengan kepemilikan tanah dan sistem pajak. Sementara penentuan apakah pembebasan itu menggunakan kekerasan atau tidak, mengalami kesulitan, karena berhubungan dengan kepentingan  umum, dan itu perlu kodifikasi situasi pembebasan satu persatu wilayah.
Dari ketiga contoh di atas, asbabunnuzul, mengetahui sahabat dan futûhât merupakan faktor-faktor ditulisnya sejarah, meski dalam pengertiannya yang terbatas. Dari uraian diatas, kita bisa menangkap karakteristik yang dimiliki oleh sejarah Islam, yaitu unsur teologisnya. Dan itulah yang menjadi faktor utamanya. Karena penulisan sejarah tidaklah untuk mengetahui masa lalu semata, tetapi untuk menetapkan hukum yang bersangkutan dengan kepentingan individu dan umum, maka wajar kalau banyak sejarawan di masa-masa awal sekaligus sebagai ahli Fiqh.
Stimulus kedua bagi orang Arab dalam menyusun sejarah adalah faktor politik atau kepentingan umum yang sasarannya menjaga kesatuan umat. Seperti kita ketahui, dinasti Umayyah runtuh oleh pertempuran-pertempuran akibat benturan antargolongan. Sementara dinasti Abassiyyah menganggap  konflik-konflik yang terjadi di dalamnya sebagai bentuk nasionalisme. Dan pemerintahan Abbasiyyah terutama pada masa  Al-Mutawakkil berhasil merumuskan strategi politik dalam meredakan pertikaian antar kelompok, melalui  berbagai percobaan. Yang bertikai dirangkul dan diikutkan dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah, dan di situlah sejarah ditulis.
Faktor stimulus ketiga hampir sama dengan faktor yang kedua, yaitu politik yang lebih mengkerucut pada sekat-sekat golongan dan tingkatan. Masing-masing golongan baik pada contoh faktor kedua atau ketiga menuliskan sejarahnya masing-masing.

II.     Pandangan Masyarakat Arab Klasik terhadap Sejarah.

Untuk melihat sejauh mana sejarawan Arab memandang sejarahnya, di sini akan diuraikan secara singkat metode penulisan sejarah masa klasik, dengan merujuk pada salah satu buku sejarah yang banyak dikaji, yaitu Al-Kâmil fit Târikh, karya Abu Hasan Ali Izzuddin bin Athir (l, 12 May  1160 w. 1233). Kebanyakan orang tidak membaca buku tersebut secara keseluruhan, tapi sebatas yang dibutuhkan, sehingga tidak dapat membedakan inti yang terdapat pada buku tersebut.
Dalam buku Al-Kâmil, disebutkan adanya tiga fase dalam sejarah Islam; masa kenabian, masa pra dan pasca kenabian. Yang mendapatkan sorotan tajam dari para pembaca buku ini adalah:
a, obyektifitas; diakui oleh banyak sejarawan, penulisan sejarah Arab mengandung obyektifitas yang cukup diperhatikan. Seperti yang dikemukakan Gustav Von Grunebaum bahwa para penulis sejarah Arab-Islam meski banyak yang berada di lingakaran kekuasaan, tidak meninggalkan obyektifitas dalam menulis sejarah.  Tetapi sayang sang orientalis berkebangsaan Jerman ini tidak memberikan karakteristik obyektifitas yang terdapat dalam penulisan sejarah Arab-Islam.5 Implikasinya berupa opini yang menganggap baik penulisan sejarah Islam, hingga tidak diperlukan lagi kritikan atasnya karena sudah dianggap obyektif. Padahal, obyektifitas yang terdapat di dalamnya bisa jadi karena faktor teologis (wujûbsy syahâdah), yang mengakui hikmah Tuhan di balik segala peristiwa yang terjadi, seperti yang terjadi pada penulisan sejarah Nabi. Ada keyakinan sejarawan yang menganggap segala peristiwa sudah disetting dari ‘sono’nya. Kekalahan-kekalahan yang terjadi pada masa itu bersifat sesaat, karena diyakini endingnya adalah kemenangan dan kebahagiaan.6
Kemungkinan kedua, karena tidak mendapatkan kepastian hakekat realita, karena hal itu merupakan sesuatu yang gaib. Semua peristiwa mesti dicatat karena tidak ada standar untuk memilih dan menemukan hakekat yang tersembunyi.
Terjadi  paradoks dalam pandangan sejarawan pada periode pasca Nabi. Satu sisi sejarawan melihat orang-orang yang selama ini dianggap sebagai penegak keadilan dan kebenaran, justru sering mengalami kegagalan, sementara di sisi lain, dia melihat kejayaan dan perkembangan Islam di tangan orang–orang yang sering disebut fasik. Ini terlihat pada masa Umayyah. Apakah kemenangan di dunia menunjukkan ridla dari Tuhan dan kegagalan berarti azab? Para sejarawan menjawab tidak. itu adalah peristiwa-peristiwa tidak bisa mereka nilai kecuali dengan mengembalikannya kepada Tuhan. Inilah yang mendorong mereka untuk menulis secara obyektif, apa adanya.
Jadi, dalam hal obyektifitas sejarawan Arab, terkandung dua makna yang berlainan. Pertama makna positif, ketika melihat sejarah Nabi. Karena masa ini diyakini mengandung muatan dan arti mendalam. Kedua makna negatif, ketika melihat sejarah pra nabi dan pasca nabi. Dua-duanya tidak mengandung muatan. Tapi, dua arti obyektifitas di atas sama sekalai berbeda dengan obyektifitas yang berlandaskan pada cara pandang positif akan sejarah yang dianggap punya muatan dan  menyatu dalam kehidupan nyata.
b, unsur kedua yang mendapatkan sorotan dari pembaca sejarah Islam adalah ketiadaan sensitifitas sejarawan. Dalam menulis sejarah ia hanya sekedar mencatat apa yang ia rekam tanpa ada rasa sensitifitas tertentu pada sejarah. Dari sini kita sampai pada satu kesimpualan bahwa sejarawan Arab klasik tidak melihat peristiwa/sejarah secara positif, tak melihat adanya muatan dalam sejarah. Sejarah hanya sekedar rekaman peristiwa masa lalu yang ‘mati’, tanpa peran terhadap masa depan dan tidak menyadari bahwa apa yang terjadi sekarang adalah akibat faktor-faktor sebelumnya.

III. Kondisi Sejarah pada Masa Kini.

Dalam hal ini Laroui menggunakan klasifikasi yang dilakukan oleh Zurayq, bahwa ada empat macam cara pandang sejarah pada masa kini.7 Pertama cara pandang tradisional, yaitu cara pandang yang mempertahankan metode klasik, mengembalikan semua kejadian pada otoritas Tuhan, dan tidak menunjukkan sikap kritis kepada kaum salaf, karena meyakini validitas riyawat yang berasal dari mereka. Kedua cara pandang golongan, baik dalam skala Arab atau dalam skup yang lebih kecil, regional. Kelompok yang menggunakan cara pandang ini tenggelam dengan kegemilangan masa lalu, bahkan kadang amat berlebihan dalam menonjolkan masa lalunya. Ketika ada orang lain menilai positif padanya, ia akan pegang itu kuat-kuat untuk mendapatkan pengakuan orang lain secara keseluruhan, sementara ketika orang lain —meskipun secara obyektif— menilai kurang positif, mereka akan habis-habisan melakukan ‘serangan balik’ dalam rangka mempertahankan dirinya. Mereka tidak menerima penilaian negatif dari orang lain. Manipulasi sejarah dilakukannya untuk menanamkan sikap nasionalisme atau fanatisme umat. Dan saya pikir ini tidak hanya terjadi pada bangsa Arab semata, tapi terjadi pula pada bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia yang menggunakan pola ini demi kepentingan-kepentingan tertentu. Pola ini tentu saja ditolak oleh Zurayq dan Laroui, juga yang lainnya, karena dapat menyesatkan umat.
Ketiga dan keempat cara pandang marxisme dan positivisme yang berkaitan dengan metodologi dan dasar-dasar epistema. Meski Zurayq menganggap pola marxisme tampak sempit atau tidak komprehensip, karena hanya mempertimbangkan faktor tunggal berupa ekonomi, tapi dia tetap menerimanya. Berbeda dengan Laroui, dia menolak perspektif ini, karena dia mengangggap kembali melihat apa yang dilakukan oleh Marx dan Engel dalam memahami peristiwa-peristiwa sejarah, malah menjauhkan diri dari faktor-faktor ekonomi.
Sementara positivisme lebih inklusif dari pada marxisme. Dia mempertimbangkan banyak faktor; faktor material, spiritual, individual, sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Pola inilah yang menurut Zurayq sesuai dan cocok diterapkan oleh bangsa Arab saat ini.
Kemunduran Arab, dalam pandangan Laroui, tidak hanya disebabkan oleh cara pandang yang salah terhadap sejarah, yaitu cara pandangn tradisional, tapi juga karena bangsa Arab menghadapi bangsa lain yang dalam segala hal harus diakui mempunyai banyak kelebihan, yaitu bangsa yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang ‘hidup’. Karenanya, dia berpendapat bahwa syarat kebangkitan bangsa Arab adalah merubah cara pandang terhadap sejarah, atau minimal  mengikuti pola yang selama ini digunakan oleh bangsa-bangsa maju, yaitu pola-pola yang mempunyai karakteristik berikut:

1.      memandang positif pada peristiwa sejarah. Dengan pengertian lain, sejarah dianggap memiliki nilai dan signifikansi. Sebab, fenomena yang terjadi pada sejarah akan menetapkan fenomena yang lain. Keterkaitan itu terus berlanjut antara masa lalu dengan masa kini, dan masa kini dengan masa depan.
2.      Tanggung jawaban pelaku sejarah. Sudah semestinya pelaku sejarah bertanggung jawab dengan prilakunya, karena penilaian terhadap pelaku sejarah adalah suatu hal biasa terjadi. Pelaku sejarah masa kini, mesti siap bertanggung jawab di kemudian hari. Demikian pula pelaku sejarah di masa lalu, mesti siap dinilai secara objektif, dan harus bertanggung jawab.
3.      Perubahan sejarah yang terus menerus. Bahwa sejarah itu bukan suatu kesatuan yang utuh dan tertutup, melainkan selalu berkembang terus menerus.

Krisis intelektual

Sebagai orang yang selalu bergulat dalam dunia intelektual, Laroui melihat bahwa ada sesuatu yang salah pada diri intelektual kita. Ada dua karakteristik yang menonjol pada diri kaum cendekiawan dewasa ini. Pertama kelompok yang masih menggunakan pola pikir tradisional (taqlîdiy). Kelompok ini melihat tradisi secara ahistoris (lâ târikhî), sehingga mereka tetap berkutat dengan tradisi bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral dan relevan bagi seluruh ruang dan waktu. Pandangan semacam ini merupakan kesalahan yang fatal. Bagaimana mereka dapat merespon perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi di dunia yang semakin mengglobal ini, apalagi untuk membuat aliran dan sistem baru sebagai alternatif jika mereka tidak memahaminya sama sekali? Menurut Laroui, tradisi harus dianggap sebagai satu bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara pandang mereka terhadap tradisi. Mereka tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka ke masa lalu.
Kelompok kedua adalah kelompok modernis yang menggunakan pendekatan eklektis (intiqâi), memilah-milah elemen-elemen dan unsur tertentu dari budaya orang lain (Barat). Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus ‘membebek’ dan bergantung kepada Barat, karena dari karakteristik eklektis ini pengaruh-pengaruh dari luar akan mendapatkan kesempat masuk yang luar biasa ke dalam realitas kita.
Pendekatan dengan menggunakan dua teori di atas (tradisional dan modernitas) tidaklah menyelesaikan masalah, kritik Laroui. Mereka tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya sama-sama tidak kreatif karena mentransfer pengetahuan dari yang lain, baik tradisi masa lalu ataupun orang lain.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi dengan memperkaya diri, berpikir kritis dan historis. Ia melihat metode berpikir historis (historisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya. Dan ini tidak begitu jauh dengan yang dikampanyekan Mahmud Ismail dengan materialisme-historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level berpikir kritis dan historis perlu mendapatkan tempat.8 Bukan hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab kontemporer.
Kritik serupa dalam kaitan dengan tradisi dan modernitas dilontarkan pula oleh M. Abid Al-Jabiri. Tokoh ini pun menekankan pentingnya pendekatan historis. Menurutnya, pemikiran yang menyatakan kebangkitan Arab muncul dengan kembali ke masa lalu adalah pemikiran konyol, sebagaimana konyol pula pemikiran yang menyeru meninggalkan tradisi secara total untuk kebangkitan Islam. Dia mengusulkan menjadikan tradisi sebagai titik tolak untuk didekonstruks dan direkonstruksidan dengan tujuan untuk melampauinya.9

Penutup

Dalam beberapa hal Laroui sama dengan para reformer lain, yang memiliki concern tinggi terhadap kebangkitan umat Islam. Tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Arkoun, Abid Jabiri, Thayyib Tizini, Mahmud Ismail dan lain-lain melakukan kritik yang serupa dengan yang dilakukan Laroui. Hanya pendekatan dan stressingnya saja yang berbeda. Karakteristik Laroui adalah selalu menggunakan sejarah sebagai pisau analisis dan selalu menyeru pada perubahan paradigma pembacaan sejarah untuk keluar dari krisis pemikiran. Meskipun pemikirannya tak begitu ‘laku’ di kalangan reformer Arab, tetapi paling tidak ia telah banyak memberikan kontribusi dalam kancah intelektual dengan spesialisasinya sebagai sejarawan.


1 Buku ini versi bahasa Arabnya adalah Al-'Arab wal Fikrut Târîkhiy. Beirut, 1973
2 dia pun menulis versi Arab dengan judul Al-Idiyûlûjiyatul ‘Arabiyatul Mu'âshirah. Beirut, 1983.
3 Hassan Hanafi dalam bukunya Islam in The Modern World, menggolongkan Laroui sebagai Marxis Arab. Karena Laroui sering menggunakan teori dialektika–matrealis-historis dalam menjawab krisis pemikiran. (lih., Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, vol. I, h. 537).
4 Abdullah Laroui, Al-‘Arab wal Fikrut Târikh, Beirut: Markaz Ats-Tsaqâfiy Al-‘Arabi, cet.IV, 1998, h. 77- 80.
5 sering sekali Laroui mengecam para orientalis yang tampak memberikan apresiasi yang berlebihan kepada kelompok Salafiyyah. Seperti yang ia lakukan pada Hamilton Gibb and Cantwell Smith yang dianggap tidak fair ketika mensikapi tokoh pembaharu Islam, Muhammad Abduh dan Iqbal. Lihat makalahnya, Western Orientalism and Liberal Islam (Lecture Delivered at the Middle East Studies Association Annual Meeting in Providence, RI) sumber; Middle East Studies Association Bulletin, Vol 31, No. 1, July 1997
6 Al-‘Arab wal Fikrut Târikh, Op.Cit, h. 86.
7 Ibid., h. 88-89.
8 Ibid., h.147-153.
9 M. Abid Al-Jabiri, Isykâliyyatul Fikril ‘Arabil Mu’âshir, Beirut: Markaz Ats-Tsaqâfiy Al-‘Arabi, cet.IV, 2000, h. 62.


You Might Also Like :


0 komentar: