20 Agustus 2010

Puasa yang Merekatkan Ukhuwah

Posted On 13.53 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

























Semua agama di dunia mempunyai puasa. Tetapi di sebagian agama puasa adalah sebuah sarana untuk menghidupkan kembali momentum-momentum sejarah dogma. Dalam ajaran  Nasrani, misalnya, mereka berpuasa selama 40 hari sejak hari penyaliban Yesus hingga hari Paskah, yaitu hari ditebarkannya berkat keselamatan bagi umat Kristiani. 

Namun begitu, puasa dalam Kristen tidak bisa disebut dengan puasa yang sesungguhnya, sebab mereka hanya dilarang memakan segala sesuatu yang (asalnya) bernyawa. Seperti daging, burung, telur dan (terkadang) susu. Selain itu mereka boleh memakannya. 

Dalam agama Yahudi juga ada yang disebut dengan "Hari Besar Puasa". Mereka tidak diperkenankan makan-minum selama 24 jam. Orang-orang Hindus di India juga berpuasa selama seminggu, dan hanya dibolehkan minum air putih. Mereka bilang, ini adalah suatu cara untuk membersihkan diri dari segala dosa dan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian agama lain berpuasa selama berminggu-minggu. Karena itulah mengapa kita sering menyaksikan kaum Hindus banyak yang terlihat kurus kering dan lemah, berjalan terpincang-pincang, tak mampu berdiri di atas kakinya sendiri.


Ini yang disebut dengan ta'abbud, penghambaan. Bahkan di salah satu tempat ibadah khusus kaum Hindus terdapat sejumlah orang yang nyaris mengharamkan apa saja. Sehingga kakinya saja bisa disebandingkan dengan ukuran tangan Anda. Mereka terlihat begitu lemah, mentalnya sudah tidak mampu berkonsentrasi.

Adapun puasa dalam Islam adalah ibadah, pensucian, mau'izhah, rahmat dan tanzhim ijtima'i (kontrol sosial), yakni pendidikan sosial.

Penulis mencoba membandingkan antara puasa dalam Islam dan puasa menurut agama-agama lain di dunia, tanpa bermaksud menyinggung perasaan salah satu rekan kita yang beragama non-Islam, karena kita --kaum Muslimin—berdakwah dengan hikmah dan mauizhah hasanah. Berdakwah dengan hikmah (kearifan) dan mau'izhah hasanah (nasehat yang baik) adalah jalan dakwah yang tidak menyinggung perasaan keyakinan orang lain. Akan tetapi wajib hukumnya memperkenalkan kelebihan-kelebihan atau keistimewaan agama kita tanpa membandingkan agama lain. Setelah itu biarkanlah mereka memikirkan kata-kata kita dan merenungkan hikmahnya. Ingatlah bahwa hikmah bukan berarti Anda menyembunyikan agama Anda, melainkan buktikan bahwa Anda adalah seorang Muslim dan juga Mu'min sejati, juga sholih dan bermanfaat untuk orang lain. Tentu saja bukan Muslim namanya jika tidak sholih dan bermanfaat untuk orang lain.

Puasa dalam Islam adalah kecintaan kepada Allah dan kepada kelompok umat Islam. Didalamnya ada kasih sayang Allah sebagai keistimewaan Islam. Rasulullah saw ketika bersabda "sesungguhnya aku ini adalah rahmat yang diberi petunjuk".
Sabda tersebut bisa diartikan dengan dua hal:

Pertama, bahwa ketika Allah swt memilihnya untuk membawa risalah Islam, maka beliau secara ketokohan memang menjadi "rahmat" bagi seluruh alam. Hal itu dirasakan benar oleh kaum Muslimin yang bahagia menemani Rasulullah saw. Keberadaan baginda Nabi laksana surga, problematika yang terjadi ada jalan keluarnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang badui ataupun di tengah kota yang berperadaban, berjibaku ingin bertemu dengan sang Nabi. Sebaliknya, jika mendengar berita negatif tentang Nabi, para sahabat turut berduka.

Contoh kecil, ketika perang Uhud meletus kaum Muslimin dikejutkan oleh desas-desus yang sengaja diciptakan oleh kaum Musyrikin bahwa Rasulullah telah terbunuh. Namun ketika mereka tahu bahwa Rasulullah sehat wal-afiat, hati mereka kembali tenang. Semangat mereka menyalak bagai singa di tengah gurun, sementara kaum musyrikin lari tunggang langgang menghindari pasukan Muslimin yang tiba-tiba menyerang dengan gesitnya. Episode perang di bukit Uhud diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum Muslimin.

Allah swt menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
Tiadalah Kami utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam. [QS. Al-Anbiya: 107].

Secara letterlijk puasa dalam Islam juga rahmat-Nya. Orang-orang Muslim yang kaya selalu menghadapi hidangan makan yang 'wah' sepanjang hidupnya: makan tak pernah ada yang kurang, dinner yang mewah, dan kurang 'afdol' kalau tidak menghadiri pesta malam. Perutnya buncit dipenuhi makanan. Di bulan puasa mereka akan menemukan "obat"-nya kalau memang mereka tahu makna puasa dan melaksanakannya. Ada perintah yang sangat populer di telinga kita:

"Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat".

Tentu saja kita berpuasa supaya tubuh kita sehat!
Saya pernah menemukan orang tua berumur 80 tahunan yang sampai akhir hayatnya terlihat segar bugar. Ketika saya tanya apa resep yang terbaik agar selalu sehat? Ia menjawab dengan pasti: "Resepnya ya satu, puasa. Saya puasa wajib di bulan Ramadhan, dan puasa sunnah Senin-Kamis. Sahurnya makanan ringan yang saya santap sebelum tidur jam 11 malam. Kalau berbuka cukup dengan mengikuti sunnah Nabi, yaitu satu buah kurma, buah-buahan atau sayur-sayuran hijau. Setelah itu saya sholat Maghrib. Sekitar jam 8 malam barulah saya santap hidangan seadanya. Lalu jalan-jalan sedikit dan mengakhiri hari dengan membaca al-Quran".

Okelah. Itu barangkali salah satu titik kecil dari berbagai macam hikmah puasa. Kita juga tahu mengapa kita tidak diperbolehkan mengkonsumsi makanan di bulan Ramadhan. Tapi mengapa Allah swt juga mengharamkan kita minum?

Yang kita ketahui bahwa air adalah untuk minum, tak ada beda untuk apa dan untuk siapa. Ada air, semua bisa minum. Dan kalau tak ada air, semua kehausan.

Yang menjadi pertanyaan, sekali lagi, mengapa Allah swt dan Rasul-Nya mengharamkan minum?
Saya mendapatkan jawabannya ketika salah dosen sejarah saya (Dr. Husein Mu'nis) pergi ke Republik Mali, negara Afrika yang sangat minim air dan bergurun-gurun. Ditemani sohibnya, dosen saya itu turun dari kendaraannya dan menyaksikan banyak tulang belulang manusia yang mati karena kehausan. Di dalam kendaraan beliau juga melihat empat ekor sapi yang tampak 'berbaring' tak bisa bergerak. Dr. Husein menanyakan ada apa dengan sapi-sapi itu, temannya yang memegang stir, menjawab bahwa sapi itu tidak minum selama beberapa hari. Dr. Husen meminta turun supaya bisa memberinya air. "Terlambat", katanya. Sapi-sapi itu mati sia-sia. Ya Allah. 
Kalau hewan merasakan haus dan lapar, manusia –yang diberi akal yang sempurna-- dapat mencari tahu, karena binatang-binatang itu tidak diberikan nikmatnya berbicara dan berkomunikasi dengan bahasa manusia. Kalau ia kehausan sampai pada tahap tertentu, ia hanya bisa duduk-duduk seperti itu, lantas sekarat dan mati. Kalau kita bisa menolongnya dengan memberikan sedikit air, barangkali kesehatannya bisa pulih kembali. Tapi kerongkongan dan perut hewan itu sudah mengering, tinggal ia meregang nyawa dalam kesunyian. Tidak ada yang memahami hakekat penderitaan kaum binatang itu melainkan Allah yang Maha Tahu.
Tak perlu seorang dosen yang "syekh" itu menangisi penyesalannya karena terlambat menolong binatang yang malang. Manusia yang memiliki nurani, sudah pasti, menjerit pilu.

Nah, dari sini kita temukan suatu kesimpulan: begitulah Allah memerintahkan kita 'puasa' minum air.
Allah Maha mengetahui bahwa di permukaan bumi ini banyak bangsa yang kekurangan air, kehausan, mati kekeringan, pohon-pohon meranggas, bumi mengering, binatang tersiksa, dan mati dengan diam, hanya Allah yang Tahu.
Kita hidup di tengah bangsa-bangsa yang banyak menderita kekeringan dan kelaparan. Kita menghadapi banyak fenomena di masa kekeringan yang merusakkan banyak negara di dunia. Ribuan hewan dan bahkan manusia mati di depan mata kita sendiri, sementara di sekitar kita banyak umat Islam yang kaya raya. Di dunia ini juga bermunculan akademi-akademi yang membahas tentang kekeringan dan mencari jalan keluar. Pada KTT Organisasi Dunia Islam (ke-3) yang diselenggarakan di Thaif, kita dihadapkan pada masalah kekeringan yang melanda pesisir Afrika. Yang saya maksud dengan "pesisir" di sini adalah lautan pasir. Di laut inilah terdapat dua pantai yang benar-benar kering. Pantai pertama yaitu pantai yang membentang sepertiga selatan dari Muritania, Mali, Chad, dan Sudan. Pantai kedua yaitu pantai wilayah pesisir utara Tunis Selatan.

Menyaksikan penderitaan negara-negara miskin ini, negara-negara Islam, termasuk Saudi Arabia, merasa perlu untuk memberi bantuan keuangan dan pengiriman teknokrat untuk melacak keberadaan sumur, membentuk dinas perairan, serta pembuatan sumur-sumur buatan di negeri-negara tersebut.

Di negara-negara maju banyak sekali perguruan tinggi atau akademi yang khusus mengkaji hydrologi. Juga di negara kita banyak yang membincang hydrologi, namun terkadang menjadi NATO, alias No Action Talk Only.

Saudi Arabia memang terkesan loyal terhadap negara-negara sekeyakinan. Jika negara-negara Barat gembar-gembor di media massa tentang rencana pengiriman bantuan finansial (hutang) kepada sejumlah negara yang terkena dampak Tsunami, Saudi Arabia justeru yang mengawalinya (didampingi Kuwait) tanpa sesumbar dan pemberitaan yang berarti. Di lain pihak, hingga saat ini bantuan dari Barat itu belum juga cair.

Semoga Allah memberkahi kebaikan negara kaya minyak itu.
Di bulan puasa ini kepekaan kita kembali diasah untuk menyantuni mereka yang membutuhkan dan merekatkan kembali ukhuwah keislaman kita yang selalu berpencar.

# Taufik Munir


18 Agustus 2010

Yuk, Ajari Anak Berpuasa

Posted On 22.45 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Oleh: Taufik Munir

Ibu rumah tangga terkadang merasa kesulitan menerapkan kewajiban puasa bagi anak-anak. 

Tentunya, anak-anak yang belum akil-baligh tidak diwajibkan berpuasa. Tapi tidak ada salahnya jika anak-anak sejak dini dilatih berpuasa. Ini penting, agar di kemudian hari dia tidak terlalu sulit melaksanakan kewajiban tersebut saat mereka dewasa. Oleh karena itu diperlukan cara yang benar dan cara yang tepat untuk melatih anak-anak beribadah, khususnya berpuasa. 

Syekh Ibrahim Ridha, salah seorang imam masjid dan pengajar di Wizaratul Awqaf Mesir mengatakan, "kaum ibu harus membiasakan anak-anaknya berpuasa, tapi tidak harus satu hari penuh." Menurut Ridha, puasa bagi anak kecil bisa dilakukan secara gradual. Misalnya dimulai dengan mengajaknya berpuasa sampai Zuhur. Inipun masih ijtihadi (usaha alternatif), bukan keharusan. Ibu-ibu juga bisa memulainya dengan mengkomunikasikannya secara langsung, berdialog dengan arif kepada si kecil sebelum tiba bulan Puasa. Misalnya membicarakan tentang kemuliaan bulan Ramadhan dan menjelaskan mengapa orang-orang banyak yang tidak makan dan minum pada bulan itu. 

Dengan demikian si kecil akan berfikir mengapa dirinya tidak puasa? Lalu setelah bulan puasa tiba, kita bagi-bagi. Pada hari itu si anak berpuasa hanya satu jam, setelah itu dua jam, lalu bertambah tiga jam. Begitu seterusnya sampai satu hari penuh pada hari berikutnya. Dengan begitu puasa akan terpatri dalam dirinya menjadi satu kebiasaan. 

Dalam satu riwayat Rasulullah saw bersabda, "Suruhlah anak-anakmu mendirikan sholat pada usia tujuh tahun. Dan sentillah mereka ketika berusia sepuluh tahun".
Secara tekstual Hadis itu menggunakan "wadhribuuhum" (pukullah mereka). Ahli fiqih menambahkan bighairi mubarrih (pukulan yang tidak bikin "bareuh", atau melukai). Karenanya saya lebih setuju kalau anak-anak cukup disentil saja anggota badannya. 

Menyangkut sholat, kita latih anak-anak kita dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Kalau puasa, kita latih anak-anak sejak usia mendekati masa pubertas. Hikmah yang bisa kita petik dari latihan tersebut agar anak-anak terbiasa taat, sehingga kebiasaan-kebiasaan itu bernilai ibadah. Dan kelak apabila mereka sudah puber dan mumayyiz, kebiasaan yang berubah menjadi ibadah itu menjadi kewajiban yang tidak lagi memberatkan. Sedangkan "anak-anak" yang sudah dewasa dan tidak membiasakan diri puasa dan sholat sejak kecil tidak perlu menggunakan cara pelatihan seperti ini.

Anak kecil sejatinya tidak perlu dipaksa puasa. Tetapi anak kecil yang "normal" akan mengikuti kebiasaan bapak-ibunya yang berpuasa. Dengan demikian terbuka lebar peluang orang tua untuk memberinya semangat puasa hingga "usia wajib puasa", sebagaimana firman Allah swt:
"diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu". (QS. Al-Baqarah: 183).

Artinya, wahai hamba-hamba-Ku, kalian jangan takut puasa, karena puasa ini juga sudah diwajibkan kepada kaum sebelum kamu, dan mereka sudah menjalankannya. Kemudian, puasa juga menjadi lebih mudah karena umat-umat lain sebelum nabi Muhammad saw lahir juga pernah diwajibkan berpuasa. 

Dengan demikian, kalau saja umat lain bisa melakukan ibadah puasa, maka mengapa kita tidak? Kita pun bisa melakukan ibadah seperti umat-umat lain melakukannya.
Oleh karena itu bagi para orang tua ajarilah anak-anak berpuasa, dimulai setengah hari sampai satu hari penuh hingga sempurna satu bulan. Dengan demikian puasa tidak lagi menjadi perkara yang sulit dilakoni anak-anak tercinta yang merupakan anugerah dan amanah dari Allah swt. []


16 Agustus 2010

Aspek Sosial Puasa

Posted On 12.41 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

# Taufik Munir
Ternyata bukan hanya umat Muhammad yang berpuasa. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, nabi Adam alaihissalam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. "Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim". (Al-Baqarah: 35).
Begitu pula nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa pun berpuasa. Dalam Surah Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud alaihissalam sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad saw. Sendirisebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.
Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. 
Jika berpuasa merupakan sunnah thobi'iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah al-Baqarah. Allah swt memerintahkan: 
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". (QS. Al-Baqarah:183).
Allah swt mengakhiri ayat tersebut dengan "agar kalian bertakwa". Syekh Musthafa Shodiq al-Rafi'ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata "takwa" dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.
Mazhab sosialisme yang mengalami masa kolapnya di Eropa, tak mampu mengubah, menambah dan mengurangi jatah perut pengikutnya. Mereka, para sosialisme yang dianggap sebagai "mazhab buku" tak pelak lagi memandang puasa sebagai "satu-satunya sistem sosialis yang paling unik dan justeru paling benar"! Bagaimana tidak, puasa adalah kefakiran secara 'paksa' yang ditentukan oleh syariat agama kepada seluruh umat (Islam) tanpa pandang bulu. Islam memandang sama derajat manusia, terutama soal "perut". Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus. Jika sholat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka puasa adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu.
Dari sini puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta'dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta'dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya "cinta" timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah berpuasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua sistem yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan.
Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai "sang mesias", juru selamat. Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang  fakir yang merintih. Ia tidak serta merta mendengar itu sebagai suara mohon pengharapan, melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon akan makna tangisannya itu. Orang berpunya akan memaknai itu semua atas pengabdian yang tulus, iimaanan wa ihtisaaban. Semua karena Allah, karena hanya Dia Sang pemilik segala.[]


04 Agustus 2010

Romadoni.... bukan Romadona!

Posted On 03.01 by Al-Ishlahiyyah 1 komentar

Lima tahun lalu catatan sederhana ini telah diposting di blog lama saya (http://religiusta.multiply.com). Di saat bersamaan saya sempatkan memposting dalam diskusi maya  dan tanggapannya sungguh luar biasa. Karena ide yang berbeda dari mainstream masyarakat kita dalam hal berniat, saudara-saudara kita rame-rame memposting ulang artikel ini. atau  bahkan me-repost dalam blognya masing-masing. Diantara mereka bahkan sampai lupa untuk menyertakan sumber aslinya. Inilah artikel yang ecek-ecek itu:

Tentang Romadhoni, yang bukan Romadhona
oleh: Taufik Munir


Setelah sholat tarawih, atau sehabis sahur banyak diantara kita membaca  

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة ِللهِ تعالى

sebagian membacanya begini: 

"NAWAITU SHOUMA GHODIN 'AN ADAA'I FARDHI SYAHRI RAMADHAANA HAZIHIS SANATI LILLAHI TA'ALA".

Artinya jelas, yaitu: "ya Allah aku niat puasa esok hari untuk melaksanakan puasa wajib bulan Ramadhan pada tahun ini, karena Allah ta'ala".
 
Apakah ada masalah? Tidak ada. Yang menjadi masalah adalah Nahwu atau tatabahasa yang kita pakai. Mengapa banyak orang membaca "Ramadhana", padahal jelas-jelas RAMADHANA adalah mudhof ilaih (yang ditumpangi). Mudhof ilaih adalah kata yang ditumpangi oleh kata sebelumnya yaitu SYAHRI. Setiap mudhoif ilaih (yang ditumpangi) jelas harus jar (yang ditandai dengan kasrah).

Jadi di sini sangat jelas niat itu harus dirubah lafaznya menjadi: RAMADHANI.
 
"Nawaitu Shouma Ghodin 'An Adaa'i Fardhi Syahri RAMADHAANI Hazihis Sanati Lillahi Ta'ala".

Memang ada yang beralasan bahwa RAMADHANI dibaca RAMADHANA karena RAMADHANI termasuk isim ghair munsharif (kata benda yang tidak menerima tanwin). Mengapa dia menjadi isim ghair munsharif sehingga tidak bisa menerima tanwin? Karena dia alami dan ziyadah alif-nun (kata benda dan mendapat tambahan dua huruf yaitu alif dan nun).

Saya kira alasan itu tidak kuat, karena Ramadhani tadi di-idhofatkan pula pada lafaz sesudahnya, yaitu HAZIHIS SANATI. Karena di sini sudah tidak ada faktor (illat) yang mengharuskan dibaca fathah, maka alasan itupun gugur. Artinya, lafaz itu sudah tidak lagi musti dibaca fathah ketika diidofatkan. Jadi, yang benar adalah RAMADHANI.

Tapi gak apa-apa apatis fatalistis. Sebodo amat, mau Ramadhana kek, Ramadhani kek, yang penting bukan Maradhona, Madonna, apalagi Maradhoni. :p

# Taufik Munir
http://religiusta.multiply.com/journal/item/89
http://www.zonastudi.co.cc