27 September 2010

Riba' dan Riya'

Posted On 09.44 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Hal yang paling diharamkan dalam Islam adalah riba (melebihkan harta tertentu seperti uang dan makanan). Terbukti Allah ta'la memberi izin untuk memerangi orang yang melanggar ketentuan ini, karena mereka sama dengan memusuhi Allah dan rasulNya. Begitu juga dengan perbuatan riya', karena riya' merupakan syirik terselubung, di mana pelakunya mengerjakan sesuatu karena ingin mendapat pujian dan nama baik, bukan karena Allah dan ikhlas kepadaNya.

 

Sedang tentang haramnya riba, seperti yang difirmankan Allah swt: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. ORang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."

"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa."

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)mereka bersedih hati."

"Hair orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al baqarah: 275-278).

 

Kemudian Allah memperingatkan akan memberi hukuman bagi pemakan riba. Dia berfirman: "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al baqarah: 279)

 

Di samping itu banyak juga hadits-hadits shahih dan masyhur yang menyatakan haramnya riba dengan berbagai macamnya. Di antaranya hadits Abu Hurairah tentang tujuh perkara yang merusak tadi. Juga hadits Ibn Mas'ud ra yang diriwayatkan Muslim, dia berkata: "Rasulullah saw melaknat pemakan dan pemberi riba." Lalu Tirmidzi menambahkan: "Saksi-saksinya dan penulisnya". Atau bahwa laknat –pengusiran jauh dari rahmat Allah— tidak terbatas pada pemakan atau pengambil riba saja, tapi laknat juga dikenakan bagi siapa saja yang terlibat dalam proses riba ini, seperti pemberi, dua orang saksi, dan penulisnya. Karena riba mengandung unsure pemerasan (eksploitasi) dan mengambil harta tanpa usaha dan resiko, sementara Islam merupakan sebuah system kerjasama yang mengandung kasih sayang, saling kerjasama dan hutang yang baik (qardh hasan).

 

Adapun tentang haramnya riya', sesuai dengan firman Allah swt: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al bayyinah: 5).

Juga firman Allah: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (QS. Al baqarah: 264).

Dan firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. Annisa: 142)

 

Banyak hadits-hadits yang menyatakan haramnya berlaku riya', seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Allah ta'ala berkata: 'Aku adalah sekutu yang paling kaya dalam sebuah persekutuan (syarikat), maka barang siapa yang mengerjakan pekerjaan dan menyekutukan aku dengan yang lain selain aku, aku akan tinggalkan dia dan syarikatnya." Atau; 'Siapa yang bermaksud riya dan menginginkan popularitas dalam pekerjaannya, maka Allah akan merendahkan pahalanya, karena riya adalah syirik terselubung, dan syirik dapat menghapuskan pahala seluruh pekerjaan yang mengandungnya.'

 

Riya juga termasuk pekerjaan orang munafik, seperti yang diriwayatkan Al Bukhari dari Ibn Umar ra: "Bahwa orang-orang berkata kepadanya; 'kami bertamu ke tempat para shultan kami, dan kami katakan kepada mereka hal yang berbeda dengan apa yang kami bicarakan saat kami di luar'. Lalu Ibn Umar pun berkata: 'kami menggolongkan hal ini dengan kemunafikan pada zaman Rasulullah saw'." Hadits ini menunjukkan bahwa berpura-pura di depan para raja dan shultan termasuk ke dalam kemunafikan.

 

Orang-orang yang riya kelak akan dibongkar keburukan dan cacatrnya di depan seluruh manusia pada hari kiamat. Seperti yang diriwayatkan oleh Dua Syeikh (Bukhari dan Muslim) dari Jundub bin Abdullah bin Sufyan ra; bahwa dia berkata: "Rasulullah saw bersabda: 'Siapa yang mengerjakan sesuatu karena ingin mendapat nama baik, maka Allah akan membongkarnya, dan siapa yang riya, maka Allah akan membongkarnya juga." Atau siapa yang mengerjakan pekerjaan karena ingin dilihat manusia, maka Allah akan membongkar cacatnya hari kiamat, dan siapa yang menunjuk-nunjukkan pekerjaan salehnya untuk mendapatkan popularitas, maka Allah akan membongkar rahasianya di mata seluruh makhluk nanti pada hari kiamat. Ini merupakan peringatan bagi orang yang berbuat riya dan orang yang suka mengharap nama baik.

 

Pekerjaan apa saja atau ilmu apa saja yang bertujuan selain Allah akan menyebabkan pelakunya diharamkan masuk surga. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah ra, dia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang mempelajari ilmu bukan karena Allah, dia tidak mempelajarinya kecuali untuk kehormatan dan kenikmatan dunia, maka dia tidak akan mencicipi wanginya surga pada hari kiamat."

Di sini peringatan bagi orang yang tidak ikhlas dalam menuntut ilmu agama. Dan siapa yang mengambil agama untuk mendapatkan dunia  maka dia akan diharamkan mencicipi nikmatnya surga.

 

Hadits yang memperinci tentang macam-macam perbuatan riya diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Orang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid dan dia didatangi Allah serta diberitahukan kepdanya nikmatnya. Lalu Allah bertanya padanya: Apa saja yang telah kau lakukan di dunia? Dia menjawab: Aku berperang di jalanMu dan aku telah mati syahid. Lalu Allah berkata: Kau bohong! Karena kau berperang supaya dikatakan pemberani oleh orang-orang. Dan seperti itulah keadaannya, kemudian diperlihatkan kepadanya kebohongannya, lalu dia dilemparkan ke api neraka. Kemudian ada lagi orang yang belajar ilmu dan mengajarkannya, membaca Alqur'an, dan saat didatangi dan dibacakan nikmatnya, Allah bertanya padanya: apa yang telah kau lakukan? Lalu dia berkata: aku belajar ilmu dan aku mengajarkannya, aku juga membaca Alqur'an di jalanmu. Lalu Allah berkata: kau bohong, kau belajar supaya dikatakan pintar oleh orang, dan kau baca Alqur'an supaya engkau dikatakan "Qari'" dan begitulah keadaannya. Kemudian diperlihatkan kepadanya kebohongannya, lalu dia dilemparkan ke api neraka. Ada lagi seorang laki-laki yang Allah luaskan rizkinya, dia juga memberikan sebagian hartanya. Diapun didatangi dan diberitahukan kepadanya nikmatnya. Lalu Allah berkata kepadanya: Apa yang telah kau lakukan dengan hartamu? Dia menjawab: aku tidak pernah membiarkan orang-orang ibnussabil yang perlu diberi nafkah kecuali aku berikan mereka nafkah demi Engkau, lalu Allah berkata: kau bohong! Kau melakukan hal ini supaya dikatakan "baik" dan itulah keadaannya. Kemudian diperlihatkan kepadanya kebohongannya, lalu dia dilemparkan ke api neraka."

Di sana ada yang menyangka bahwa itu sebuah pekerjaan dikatakan riya padahal itu bukan. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar ra, dia berkata; "Rasuluh saw ditanya: 'Tidakkah engkau lihat seorang laki-laki yang mengerjakan pekerjaan yang baik dan manusia memujinya? Beliau menjawab: 'Itu adalah berita gembira Sebagai balasan) langsung bagi orang mukmin'." Atau seperti yang disebutkan dalam firman Allah: "Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (QS. Yunus: 64). (Taufik Munir)



Hibah Minta Dibalikin?

Posted On 09.42 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Islam menghendaki umatnya agar selalu senantiasa menanamkan nilai-nilai kemuliaan dan moralitas yang tinggi dalam hati dan jiwa mereka. Islam melarang meminta kembali hibah dan hadiah karena ini bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaan tadi. Di samping itu juga Islam mengharamkan makan harta anak-anak yatim yang lemah dengan dzalim, supaya anak-anak yatim ini tidak menjadi beban masyarakat sehingga akhirnya masa depan mereka terancam dan menjadi miskin, hina dan papa.

 

Adapun tentang meminta kembali hibah dan hadiah dari orang yang diberi, termasuk juga pemberi sedekah yang membeli barang yang sudang disedekahkan kepada orang lain melalui zakat atau kafarat dan lain-lain, maka perbuatan ini makruh hukumnya sebelum barangnya diterima, dan haram hukumnya jika telah diterima. Seperti yang terkandung dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibn Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Orang yang kembali meminta pemberiannya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya." Dalam riwayat lain: "Perumpamaaan orang yang meminta kembali sedekah yang diberikannya seperti anjing yang muntah dan kembali memakan muntahnya tersebut." Dan dalam riwayat lain: "Orang yang meminta balik hibahnya seperti orang yang memakan kembali muntahnya."

 

Nawawi berpendapat: "Hadits ini sangat jelas menunjukkan pengharaman. Yang diharamkan hadits ini adalah hibah yang diberikan kepada orang asing. Adapun hibah yang diberikan kepada seorang anak dan cucu, maka dibolehkan meminta balik dengan syarat-syaratnya, yaitu jangan sampai yang diberi telah menerima barang pemberiannya. Perumpamaan yang sangat buruk dalam hadits ini, yaitu seperti anjing yang memakan kembali muntahnya, merupakan bukti tercelanya pekerjaan seperti ini.

 

Hadits lain muttafaq alaih juga menguatkan hadits ini. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra, dia berkata: "Aku telah bersedekah untuk para mujahid, dan ada orang yang belum menggunakan sama sekali barang sedekahku itu, lalu aku hendak membelinya darinya dan aku pikir dia akan dengan mudah menjualnya. Lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentang hal ini. Jawab beliau: "Jangan kau beli dan jangan sekali-kali meminta kembali sedekahmu, dan jika dia rela menjualnya dengan satu dirham, maka orang yang mengambil kembali sedekahnya sama dengan orang yang memakan kembali muntahnya."

 

Hadits ini menyatakan larangan bagi orang yang bersedekah untuk membeli barang yang telah disedekahknnya, karena ini bertentangan dengan kehormatan. Di samping itu untuk mendidik jiwa agar selalu ingin memberi.

 

Ini adalah bukti dan dalil lain dari larangan untuk meminta kembali sedekah sekalipun dengan membelinya atau dengan cara barter (menukarnya dengan barang lain). Larangan ini untuk menghindari syubhat dan menghindari berkurangnya pahala akibat perbuatan tersebut, seperti halnya meminta balik hibah.

 

Sedangkan tentang haramnya memakan harta anak yatim, maka dalil-dalilnya sangat banyak sekali. Di antaranya firman Allah swt: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (QS. Annisa: 10).

Juga firmanNya: "Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa." (QS. Al an'am: 152).

Dan firman Allah swt: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: 'Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan." (QS. Al baqarah: 220).

 

Kesemua ayat ini menunjukkan haramnya menghabiskan harta anak-anak yatim dengan cara memakannya atau lainnya. Ungkapan "memakan" dalam ayat-ayat ini, karena perbuatan inilah yang sering banyak terjadi. Orang yang melakukan hal itu akan masuk neraka. Tidak diperkenankan untuk mendekati harta anak-anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik seperti untuk menjaga hartanya atau mengembangkannya, atau juga memakannya dengan cara yang ma'ruf. Sesuai dengan firman Allah swt: "Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut." (QS. Annisa: 6)

 

Berbuat aniaya terhadap harta anak-anak yatim dengan cara memakannya atau yang lainnya termasuk dosa besar, karena hal ini dapat membahayakan maslahat para anak yatim. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang dapat merusak." Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa saja ketujuh perkara itu?" beliau menjawab: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak-anak yatim, dan lari berpaling pada saat peperangan, serta menuduh wanita-wanita mukminat yang suci berzina." (Hadits Muttafaq alaih)

 

Hadits ini menegaskan haramnya memakan harta anak yatim dan perbuatan ini tergolong kepada tujuh perkara yang masuk golongan dosa besar; kufur atau syirik kepada Allah, menggunakan sihir, belajar dan mempraktekkannya, membunuh dengan sengaja tanpa hak, memakan riba (melebihkan harta riba yang terdiri dari dua jenis: emas dan perak, dan barang-barang yang sejenis dengan keduanya termasuk uang kertas dan makanan), memakan harta anak yatim dengan cara yang dzalim dan aniaya, lari dari medan pertempuran saat berhadapan dengan musuh, dan menuduh berzina wanita-wanita mukminah dan laki-laki mu'min yang suci tanpa ada bukti-bukti dan saksi-saksi yang mesti berjumlah empat orang.

Ketujuh dosa besar ini, separuhnya mengandung dosa yang lebih besar di mata Allah ketimbang sebagiannya. Larangan melakukan ketujuh perkara ini tidak lain karena kesemuanya mengandung bahaya dan dapat merusak maslahat individu, masyarakat dan bahkan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu harus dihindarkan karena mengandung kesesatan dan penyelewengan. (Taufik Munir)


Orang Kaya Menunda-nunda Hak

Posted On 09.41 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Islam adalah agama hak dan rahmat. Oleh karena itu Islam mewajibkan memberikan hak kepada para pemiliknya jika mereka menuntutnya. Islam juga mengharamkan menganiaya manusia atau binatang dengan menggunakan api. Wajib dan haram ini keduanya merupakan pokok-pokok agama dan kaedahnya yang tidak boleh diremehkan dan dilanggar. Dalam menggambarkan risalah nabiNya, Allah swt berfirman: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS: Al anbiya: 107).

 

Dia juga berfirman dalam ayat lain: "Dan jangan sebagian kau memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil." (QS: al baqarah: 188)

 

Hadits Nabi juga telah menjelaskan kedua jenis hukum yang sangat urgen ini. Adapun tentang penganiayaan dengan menggunakan api terhadap orang atau bintang bahkan seperti semut dan kutu sekalipun, maka diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ra, bahwa dia berkata: "Rasulullah mengutus kami dalam sebuah misi, lalu beliau berkata: 'Jika kalian menemukan si fulan dan si fulan –keduanya dari orang quraisy, nabi menyebutkan namanya--, maka bakarlah keduanya dengan api'. Kemudian Rasulullah saw berkata lagi saat kita hendak beranjak pergi: 'Aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si fulan dan si fulan, sementara api itu tidak digunakan untuk menyiksa kecuali oleh Allah swt, maka jika kalian menemukan keduanya cukup bunuh keduanya."

 

Hadits ini menunjukkan haramnya membakar semua makhluk hidup yang bergerak maupun yang diam seperti tumbuhan, baik pada saat makhluk itu masih hidup ataupun telah mati, karena ini bertentangan dengan kehormatan dan kemuliaan manusia.

 

Hadits lain menguatkan hal ini, seperti yang diriwayatkan Abu Daud dengan sanadnya yang shahih dari Ibn Mas'ud ra, bahwa dia berkata: "Kami tengah bersama Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan. Kemudian beliau pergi sebentar untuk menunaikan hajatnya. Tiba-tiba kami melihat seekor burung kecil hummarah. Burung itu memiliki dua ekor anak, lalu kami ambil kedua anaknya. Burung itu pun datang dengan mengepak-ngepakkan sayapnya unuk melindungi anaknya. Lalu Nabi tiba dan berkata: "Siapa yang mengagetkan burung dengan kedua anaknya ini? Kembalikan kepadanya anaknya!"

 

Kemudian Nabi melihat satu sarang semut yang telah kami bakar, beliau pun bertanya: "Siapa yang membakar ini?" Kami menjawab: "Kamilah yang membakarnya." Lalu beliau berkata: "Sesungguhnya tidak layak ada yang menganiaya dengan menggunakan api kecuali Tuhan pemilik api."

 

Hadits ini menunjukkan haramnya membakar semut dan serangga dengan api, juga haramnya membakar manusia hidup-hidup atau dalam keaadan mati sekalipun, karena ini mengandung penganiayaan. Cukuplah dengan menggunakan qishas dalam membunuh bahkan untuk musuh sekalipun.

Sedang tentang orang kaya yang menunda-nunda menunaikan hak terhadap pemiliknya, ini sesuai dengan firman Allah swt: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (QS: Annisaa: 58)

 Kata amanaat dalam ayat ini mencakup semua hak, baik itu hak Allah maupun hak hamba seperti halnya titipan, hutang, zakat, biaya perjalanan haji dan umrah, dan lain sebagainya.

 

Tentang pencatatan hutang piutang atau cukup dengan saling percaya sebagai ganti dari gadai dan kafalah (jaminan), hawalah (pemindahan tanggungan hutang) dan kesaksian, Allah swt berfirman: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka  hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya." (QS. Al Baqarah: 283)

Atau; "Jika kalian saling mempercayai dan tidak perlu memberi barang jaminan atau gadaian dan kesaksian, maka bagi wakil atau yang berhutang hendaknya segera melaksanakan amanat dan melunasi hutangnya."

 

Allah ta'ala juga menyuruh untuk menerima hawalah dari orang yang berhutang kepada yang lainnya (yang mampu), supaya mempermudah pelunasan hutang. Dia juga mengharamkan orang kaya menunda-nunda penunaian hak, karena ini merupakan kedzaliman yang pelakunya layak diberi hukuman ta'zir fisik, seperti dikurung dan dicela, atau hukuman financial seperti denda.

Ada sebuah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah swt bersabda: "Orang kaya yang menunda-nunda hak adalah dzalim, dan jika hutang seseorang dipindahkan tanggung jawabnya (hawalah) kepada orang kaya lain, maka hendak orang kaya ini menerimanya."

 

Atau; "Penundaan membayar hutang yang menjadi tanggungan orang yang berhutang, sementara ia mampu menunaikannya, ini dianggap dzalim dan dosanya tergolong dosa besar. Sementara jika salah seorang dari kalian dipindahkan tanggung jawab hutangnya kepada orang kaya, maka orang kaya tersebut harus menerimanya. (Taufik Munir)



Kepada Hewan pun Harus Baik

Posted On 09.39 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Saling mencintai, menyayangi dan saling bekerjasama merupakan tujuan dari sebuah komunitas social kecil dan besar dalam Islam. Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali dengan kata-kata baik, perrbuatan baik, dan mu'amalah yang mulia. Lebih utama lagi terhadap para wanita, anak-anak, pembantu dan setiap bawahan. Kesemuanya harus diperlakukan dengan baik dan penuh dengan kasih sayang

 

Menganiaya orang-orang yang dibawah perwalian tersebut diharamkan. Prinsip perwalian mengharuskan adanya rasa cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu tidak diperbolehkan memberi sanksi dan menganiaya seorang wanita, pembantu, anak[1] dan sebagainya yang menjadi tanggung jawab seseorang tanpa sebab yang syar'ie atau melebihi kadar hak pemberian sanksi moral.

 

Allah swt berfirman: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri." (QS: Annisa: 36).

 

Dalam ayat ini, Allah swt menggabungkan antara perintah untuk menyembahNya dengan pengharaman berbuat syirik, antara perintah untuk berbuat baik terhadap kedua orang tua, kerabat, tetangga dekat dan jauh, teman seperjalanan atau sepekerjaan, orang yang terhambat perjalanannya dan para pembantu. Dan Allah swt sangat membenci orang-orang yang sombong lagi angkuh.

 

Ciri-ciri berbuat baik dan sayang terhadap binatang adalah dengan memberinya makan, minum dan meringankan beban bawaannya. Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Ibn Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: "Seorang wanita bisa disiksa hanya karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati, dia akan masuk neraka karena ia tidak memberi makan dan minum saat mengurungnya. Ia juga tidak membiarkannya makan dari serangga-serangga yang ada di tanah."

 

Ini jelas mengandung perintah yang tegas agar selalu menyayangi binatang, melarang untuk mengurungnya sehingga membuat dia lapar dan haus.

 

Dalam hadits lain (muttafaq alaih), diriwayatkan dari Ibn Umar ra, bahwasanya: "Dia berjalan melewati anak-anak kecil yang tengah meletakkan seekor burung untuk menjadi sasaran, mereka pun memanahinya. Mereka menyuruh pemilik burung untuk memunguti panah yang tidak mengenai sasaran. Pada saat mereka melihat Ibn Umar, mereka lari berpencar dan menghindar. Ibn Umar pun berteriak: 'Siapa yang melakukan ini? Allah melaknat siapa saja yang melakukan hal ini. Rasulullah saw juga melaknat orang-orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa untuk dijadikan sasaran'."

 

Hadits ini menunjukkan haramnya mengambil sesuatu yang bernyawa untuk dijadikan sasaran, karena ini adalah penganiayaan tanpa sebab syar'ie yang jelas. Ini juga termasuk dosa besar karena pelakunya akan dilaknat.

 

Ada hadits lain yang juga menguatkan hal ini. Diriwayatkan dari Anas ra, dia berkata: "Rasulullah saw melarang mengurung binatang untuk dibunuh." Ini larangan yang sangat jelas untuk tidak membunuh binatang dengan mengurung atau menganiayanya.

 

Di samping berbuat baik terhadap binatang, berbuat baik kepada manusia adalah lebih wajib dan lebih layak. Diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Ali Suwaid bin Muqarrin ra, dia berkata: "Aku memiliki tujuh saudara dari bani Muqarrin. Kami tidak memiliki pembantu kecuali satu orang yang selalu ditampar oleh saudaraku yang paling kecil. Lalu Rasul pun menyuruh kami untuk membebaskannya."

 

 Dalam riwayat lain; "Saudaraku ketujuh".

 

Hadits ini menunjukkan haramnya menganiaya pembantu atau budak hamba sahaya. Memukulnya atau menamparnya dengan telapak tangan saja cukup menjadi alasan untuk membebaskannya.

 

Hadits lain yang semakna dengan hadits tadi diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mas'ud al Badri ra, dia berkata: "Aku memukul hamba sahaya milikku dengan sebuah cemeti. Tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku; 'ketahuilah abu Mas'ud!' Aku tidak memahami suara ini karena sedang marah. Pada saat orang itu mendekatiku, ternyata beliau adalah Rasulullah saw, dan beliau berkata: 'Ketahuilah Abu Mas'ud, sesungguhnya Allah lebih mampu (menyiksamu) melebihi kau menyiksa budak ini.' Lalu akupun berkata: 'Setelah ini aku tidak akan memukul orang-orang yang kumiliki lagi'." Dalam riwayat lain; "Cemeti itu jatuh dari tanganku karena wibawa beliau (Rasulullah)."

 

Dalam riwayat lain juga; "Aku berkata; 'Wahai Rasulullah! Hamba sahaya ini bebas karena Allah.' Lalu beliau berkata: 'Jika engkau tidak melakukannya (membebaskannya) maka engkau akan disentuh  atau dilalap api neraka."

 

 Hadits ini mewajibkan berlaku baik dan menyayangi orang-orang yang dimiliki dan pembantu jika mereka tidak berbuat kesalahan dan dosa. Jika mereka berlaku kesalahan dan dosa maka boleh diberi sanksi sesuai dengan besar kesalahan dan dosanya dan dengan cara yang baik.

 

Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang memukul hamba sahayanya sebagai sanksi akibat perbuatannya, atau menamparnya, maka kafaratnya adalah dengan membebaskannya."

 

Hukum kafarat di sini adalah sunnah dan tidak wajib secara ijma', seperti yang dikatakan oleh Al-Qadhi 'Iyyad.

 

Demikian juga tidak diperbolehkan untuk menganiaya orang lemah dan orang-orang miskin tanpa hak. Seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Hisyam bin Hakim bin Hizam ra, bahwasanya dia melewati orang-orang Anbath (para petani non Arab) di negeri Syam. Mereka semua dijemur dibawah matahari dan kepalanya disiram minyak. Lalu dia berkata: Apa ini? Ada yang berkata bahwa mereka disiksa akibat pajak. Dalam riwayat lain; mereka dikurung akibat tidak membayar jizyah. Lalu Hisyam berkata: Aku bersaksi bahwa aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah akan menyiksa orang-orang yang menganiaya orang lain di dunia." Lalu dia berkunjung ke tempat Amir dan membicarakan hal ini. Amir ini pun memerintahkan untuk membebaskan mereka.

 

Selain itu, diharamkan memukul binatang dan membuat cap diwajahnya dengan besi panas. Seperti diriwayatkan oleh Mulim dari Ibn Abbas ra dia berkata: "Rasulullah saw melihat seekor keledai yang wajahya diberi cap, beliaupun mengecam hal ini. Lalu berkata: demi Allah, aku tidak memberi cap seekor keledai kecuali di tempat yang paling jauh dari wajah." Akhirnya beliaupun menyuruh untuk mencap keledai di bagian "Ja'irah" (bagian belakang paha). Beliaupun adalah orang yang pertama memberi cap di bagian ini.

 

Hadits yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas juga, bawa Nabi saw dilalui seekor keledai yang wajahnya telah dicap, lalu beliau berkata: "Allah melaknat orang yang memberinya cap." Dalam riwayat muslim lain: "Rasulullah saw melarang memukul wajah dan memberi cap pada wajah."

 

Kedua hadits ini menunjukkan haramnya memukul binatang pada bagian wajah dan memberi cap atau tato pada wajahnya. Karena hal ini dapat merusak ciptaan dan mematikan indera. Memukul pada wajah itu lebih haram, baik kepada manusia ataupun binatang.  (Taufik Munir)



[1] Kesemuanya tergolong orang-orang yang lemah.


Apakah Dia Seorang Pengkhianat?

Posted On 09.33 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Tidak kita temukan agama yang sangat mengagungkan prinsip menepati janji dan kesepakatan, selain Islam. Karena prinsip dan ajaran ini merupakan bukti kuatnya iman, cirri kejujuran dan penghormatan terhadap ucapan, serta menyuburkan keinginan untuk selalu menepati syarat-syarat akad di samping untuk melaksanakan kewajiban dan hak orang lain. Ini juga merupakan bukti akan adanya rasa percaya diri, keberanian dan kekuatan, juga keinginan akan stabilitas mu'amalah manusia, khususnya yang berkenaan dengan janji dan kesepakatan mereka.

 

Mengingkari janji dan kesepakatan, atau menunda-nunda pelaksanaan syarat-syarat akad dan tidak menghormati kesepakatan yang ada, serta tidak melaksanakan janji merupakan sifat-sifat kaum munafik dan ciri-ciri kemunafikan.

 

Oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk selalu memenuhi syarat-syarat janji dan kesepakatan serta melaksanakan kewajiban-kewajiban syari'at yang diperintahkan Allah kepada kita. Setiap orang akan ditanya dan dipertanggungjawabkan akibat mengabaikan kesepakatan tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.

Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (QS. AL Maidah: 1)

 Dia juga berfirman: "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan-jawabnya." (QS. Al Isra: 34)

Kata al 'ahd dalam ayat ini juga bermakna kesepakatan antar manusia dalam akadnya, atau bisa juga kewajiban syari'iat yang telah Allah perintahkan. Memenuhi janji ini akan dipertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.

 

Sunah dan hadits Nabi saw telah menegaskan tentang ajaran menepati janji ini dan menganggap berkhianat atau berpaling dari janji merupakan ciri-ciri kemunafikan. Dalam sebuah hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Ada empat hal yang jika ada dalam diri seseorang, maka dia menjadi munafik, dan barangsiapa yang membawa setitik saja sifat ini, maka dia juga memiliki setitik kemunafikan sampai dia meninggalkannya; yaitu orang yang jika dipercaya dia berkhianat, jika berbicara dia berbohong, jika berjanji dia berpaling, dan jika berseteru maka dia menjadi lebih keras."

Kemunafikan di sini tidak bermakna munafik dalam hal akidah yang biasa dilakukan dengan menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya. Maksud dari kemunafikan di sini adalah kemunafikan amalnya, dengan kata lain orang tersebut melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerjaan orang munafik.

 

Telah diketahui bahwa kemunafikan merupakan tabiat yang buruk, menunjukkan kelemahan jiwa dan bisa berbahaya bagi masyarakat.

 

Orang yang berpaling dari janji akan dikenakan azab khusus di akhirat, lain dari yang lain, akibat besarnya kejahatan yang dilanggar dan buruknya perbuatan itu. Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibn Mas'ud dan Ibn Umar serta Anas ra, mereka berkata: Nabi saw bersabda: "Setiap orang yang berpaling dari janji memiliki bendera pada hari kiamat, dikatakan: ini adalah bendera si fulan!"

 

Muslim juga meriwayatkan dari Abu Said al Khudri ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Setiap orang yang berpaling dari janji memiliki bendera di duburnya pada hari kiamat, bendera itu akan diangkat sesuai kadar perbuatannya, demikianlah, dan sebesar-besar orang yang berpaling dari janjinya adalah para penguasa."

Atau, pada dubur setiap orang yang berpaling dari janji akan ditancapkan bendera. Ungkapan ini adalah bukti betapa hinanya perbuatan semacam ini. Dan seburuk-buruk orang yang berpaling dari janji adalah seorang penguasa atau wakilnya, karena bahaya yang diakibatkannya lebih besar dan bisa menimpa seluruh rakyatnya.

 

Aneh sekali kondisi para pengingkar janji ini seperti halnya orang-orang Yahudi yang selalu mempermainkan perjanjian. Pelanggaran mereka terhadap perjanjian ini selalu dilakukan berturut-turut. Dalam al Qur'an Islam telah memperingatkan tentang hukum melanggar syarat akad atau kesepakatan yang wajib dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya. Dan Nabi saw sendiri akan menjadi musuh bagi orang yang mengingkari dan berpaling dari janjinya pada hari kiamat kelak.

Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw telah bersabda: "Allah berkata: 'Ada tiga orang yang akan menjadi musuh Aku pada hari kiamat; Seseorang yang berjanji dengan namaKu lalu dia berpaling dari janji itu, seseorang yang menjual orang merdeka dan memakan harganya, kemudian seorang laki-laki yang menyewa buruh dan memintanya melakukan sesuatu tetapi dia tidak memberikan upahnya."

 

Di sini ada peringatan yang sangat keras terhadap tiga jenis perbuatan yang diancam akan diberikan azab yang paling pedih. Pertama, siapa yang berjanji dengan nama Allah kemudian mengingkari janjinya. Kedua, penjual orang merdeka, ini adalah kejahatan. Dan ketiga, seseorang yang menyewa pekerja untuk melaksanakan suatu pekerjaan tetapi tidak memberi upahnya. Ini jelas sebuah kedzaliman yang nyata. (Taufik Munir)


Meragukan Keturunan Orang Lain

Posted On 09.31 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Seorang muslim yang berakal dan beragama harus menghormati orang lain, tidak menyakiti mukmin dan mukminah lain, menghindari memakan harta manusia dengan cara yang batil, seperti riba, merampas dan menipu. Semua harta yang didapat dengan cara seperti ini tidak akan diberkahi Allah dan dapat membahayakan orang lain, mengguncang rasa saling percaya dalam interaksi sosial khususnya dalam proses saling memberi dan mengambil.

 

Bentuk penipuan yang paling buruk contohnya, menciptakan perseteruan antara kedua suami istri, atau antara pembantu dan tuannya, juga menghancurkan para wanita dan pembantu. Semuanya adalah sifat-sifat orang-orang fasik dan sifat-sifat penjahat bagi umat dan masyarakat, rumah dan keluarga. Karena perilaku semacam itu merupakan bentuk dari penyiksaan dan penganiayaan, fitnah dan kehancuran.

 

Oleh karena itu, Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)

 

Sedang meragukan keturunan orang yang telah tetap merupakan bentuk penganiayaan yang paling parah. Nabi saw bersabda yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra: "Ada dua macam manusia yang pada keduanya terdapat benih kekafiran, yaitu orang yang meragukan keturunan orang lain dan orang yang menangis keras atas mayyit."

Atau ada dua golongan yang sangat jelek dari manusia yang dianggap kafir jika keduanya tahu haramnya kedua perkara tadi tapi masih mengerjakannya. Karena kedua perbuatan ini dianggap pekerjaan dan moralitas kaum Jahiliah; meragukan keturunan orang dan mengangkat suara saat menangisi orang mati. Kedua pekerjaan ini dianggap sebuah kebohongan yang besar. Sementara itu kebohongan, menangis keras dan meragukan nasab orang merupakan dosa besar dan maksiat.

 

Menipu juga merupakan dosa besar dan akan berakibat fatal bagi penipu dan yang ditipu serta dapat menimbulkan konflik di antara keduanya.

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Orang yang mengacungkan senjata kepada kita bukan termasuk golongan kita, dan orang yang menipu kita juga bukan termasuk golongan kita."

Hadits ini menyatakan haramnya mengacungkan senjata kepada seorang muslim juga haramnya menipu dalam bermu'amalah di pasar. Membunuh orang-orang muslim dan menipunya akan mendatangkan bahaya bagi umat serta dapat merusak bidang perdagangan.

 

Dalam riwayat Muslim yang lain: "Bahwa Rasulullah saw melewati sebuah tumpukan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya kedalamnya. Kemudian tangannya menyentuh yang basah, dan beliau pun bertanya: 'Apa ini wahai pemilik makanan?' Lalu pemilik makanan menjawab: "Ini terkena hujan wahai Rasulullah! Kemudian beliau berkata lagi: 'Kenapa tidak engkau taruh di bagian atas tumpukan supaya semua orang melihatnya?! Siapa yang menipu, maka bukan termasuk golongan kita'."

 

Menipu ada dua macam, ada yang abstrak dan ada yang konkrit. Yang pertama dengan memalsukan hakikat dan menampakkan yang batil dengan penampilan yang hak. Yang kedua, contohnya menyembunyikan cacat suatu barang yang hendak dijual, atau mencampurkan barang yang jelek dengan yang bagus, bisa juga meninggikan penawaran harga barang supaya orang lain tertarik membeli atau yang biasa disebut jual beli Najasy, dan ini hukumnya adalah haram.

 

Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jangan melakukan jual beli najasy".

Najasy seperti yang diterangkan di atas dilakukan dengan meninggikan penawaran harga suatu barang dengan tidak niat untuk membelinya tapi untuk menarik minat pembeli lain.

Dalam hadits lain muttafaq alaih diriwayatkan dari Ibn Umar ra: "Bahwa Nabi saw melarang jual beli najasy." Sebab dilarangnya adalah adanya unsur penipuan supaya menarik perhatian orang lain tadi.

 

Menipu juga diharamkan dalam mu'amalah seperti dalam jual beli dan sewa menyewa. Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan mengaku telah menipu dalam menjual barangnya, lalu Rasul berkata: "Siapa orang yang membeli barangmu, katakan padanya: 'Tidak ada penipuan'."

Di sini jelas para pembeli harus diberikan hak untuk memilih yang biasa disebut dengan khiyaarusysyarth (syarat adanya hak memilih). Dengan demikian ia berhak untuk mengembalikan barang yang mengandung tipuan tadi jika terdapat syarat semacam itu.

 

Menghancurkan hubungan kedua suami istri atau pembantu dengan tuannya juga hukumnya haram. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Siapa yang menghancurkan dan menipu istri seseorang atau hambanya, maka bukan termasuk golongan kita."

Di sini jelas hadits tersebut mengandung haramnya segala perilaku dan tipu daya untuk menghancurkan perempuan dan pembantu orang lain atau yang bisa menimbulkan perselisihan di antara keduanya dengan suami ataupun tuannya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip iman. Seorang mu'min harus selalu bekerjasama, saling membantu dan saling memperbaiki, bukan saling menghancurkan dan menanam benih fitnah. (Taufik Munir)



Inilah Mengapa Menghina itu Dilarang

Posted On 08.53 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Setiap orang bangga dengan kehormatannya. Dia akan merasa muak dan tidak puas jika kehormatannya diusik, diejek atau dihina. Motif segala fenomena menyepelekan orang lain bisa berupa kekuasan yang tiran atau juga adanya dominasi  sifat dzalim dalam diri, bisa juga akibat rasa takabbur dan lebih unggul dari manusia lain.

 

Menghina orang lain bisa menimbulkan reaksi saling ejek dan saling hina lagi, serta menumbuhkan keinginan untuk melampiaskan dendamnya saat kesempatan itu ada juga dengan hinaan lagi.

 

Bentuk-bentuk penghinaan itu antara lain: menjuluki orang lain dengan julukan yang jelek, mengumpat, mencela dan mencaci orang lain. Allah berfirman: "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela." (QS. Al Humazah: 1) Atau adzab dan lembah jahannam akan diberikan kepada siapa yang mencaci aib seseorang.

 

Allah swt telah menjaga kehormatan setiap manusia. Dalam al Qur'an Dia berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam." (QS. Al Isra: 70)

 Allah juga melarang mengolok-olok orang lain, Dia berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-ngolokkan), dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-ngolokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (QS. AL Hujuraat: 11)

 Atau satu masyarakat tidak boleh mengolok-olok masyarakat lain karena bisa jadi yang diolok-olok lebih baik dari yang mengolok-olok.

 

Sunnah dan hadits Nabi juga telah menjelaskan dan menegaskan apa yag disinyalir oleh al Qur'an. Di antaranya apa yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa rasulullah saw telah bersabda: "Seseorang dianggap memiliki benih kejahatan dengan hanya menghina saudaranya yang muslim." Atau, seseorang cukup dikatakan penjahat jika dia telah menghina saudaranya muslim, bahkan non-muslim sekalipun, karena mereka semua merupakan makhluk Allah ta'ala.

Motif menghina yang paling penting biasanya adalah rasa takabbur, seperti yang diriwayatkan Muslim dari Ibn Mas'ud ra, bahwa Rasulullullah saw bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji jagung." Seorang laki-laki bertanya: bagaimana jika seseorang ingin pakaiannya indah dan sendalnya juga bagus? Lalu beliau menjawab: (Allah itu indah dan mencinta keindahan, sementara kesombongan dapat memotong hak dan menghina manusia." Atau bahwa memperindah penampilan, pakaian dan sepatu serta bentuk bukan merupakan kesombongan. Tapi kesombongan yang tercela adalah yang termasuk dosa besar, yaitu menghina manusia dan meninggalkan dan memasung hak. Siapa yang mengerjakan kebatilan dan meremehkan seruan hak dan kekuasaannya, maka dialah orang sombong yang balasannya adalah neraka serta dilarang masuk surga.

 

Sombong dan merasa besar hanyalah sifat milik Allah semata. Karena Dialah pemilik segala kekuasaan yang mutlak, kehendak yang terlaksana, dan keinginan yang universal. Dialah yang memiliki sifat rahmat yang maha luas dan sebaik-baik pengampun dosa hambaNya.

 

Muslim meriwayatkan dari Jundub bin Abdullah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Seorang laki-laki ada yang berkata: 'Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan'. Lalu Allah berkata: 'Siapa yang bersumpah demi aku ini? Tidakkah aku selalu memaafkan si fulan? Sesungguhnya aku telah mengampuninya, dan aku telah membatalkan pahala amalmu!'."

 

Dalam hadits ini mengandung betapa besar karunia, rahmat dan ampunanNya untuk hambaNya. Hadits juga mengandung ancaman bagi orang yang menghina seorang muslim dan lainnya serta perlunya menghindari vonis tertentu kepada orang lain. Pekerjaan ini hanya khusus hak Allah. Di luar ketentuan tersebut pekerjaan ini dianggap bertentangan dengan etika Allah dan melampaui batasNya.

 

Allah juga mengharamkan mencemooh orang lain jika orang itu terkena musibah, bencana, atau kesulitan financial. Berdasarkan firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al Hujuraat: 10). Juga firmanNya: "Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat." (QS. An Nuur: 19)

 

Mencemooh adalah bentuk lain dari penghinaan yang bertentangan dengan prinsip ukhuwwah imaniah yang mengandung ketentuan bahwa seorang mukmin mesti ikut merasakan kesakitan dan kebahagiaan saudara mukmin lainnya. Di samping hal itu juga bertentangan dengan haramnya kehormatan manusia, seperti yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah: "Setiap muslim diharamkan atasnya seorang muslim lain dalam hal: darahnya, hartanya dan kehormatannya."

 

Balasan bagi orang-orang yang mencemooh orang lain adalah akan diberikan kepadanya bala. Sementara bagi orang yang dicela akan tetap dijaga kesehatannya oleh Allah.

 

Tirmidzi meriwayatkan –hadits hasan—dari Watsilah bin al Asqa' ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Jangan engkau cemooh saudaramu, karena Allah akan memberi rahmat baginya dan akan memberi bala kepadamu." Atau sanksi orang yang mencemooh di dunia berupa musibah yang akan berpindah kepadanya, sementara yang dicela akan terbebas dari hinaan dan diberikan rahmat oleh Allah ta'ala. (Taufik Munir)


Hukum Mencuri Dengar

Posted On 08.52 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Setiap keluarga, masyarakat maupun individu pasti memiliki rahasia yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Setiap manusia juga memiliki cacat dan kekurangan yang jika diketahui orang lain, maka dia akan merasa terusik dan terganggu. Kadang orang lain menyangka salah bahwa si Fulan telah melakukan dosa padahal dia bebas dari prasangka tersebut. Dalam kondisi seperti ini dituntut sikap tetap berhusnudzan (berbaik sangka) kecuali karena darurat atau ada bukti yang jelas. Semuanya itu agar manusia bisa hidup aman dan tentram, bahagia dan stabil, penuh cinta kasih dan kerja sama tanpa harus terlibat dalam konflik atau perpecahan.

 

Oleh karena itu Allah mengharamkan menyakiti orang lain tanpa alasan yang hak, mencuri dengar pembicaraan mereka dan menyelidiki kegiatan dan kabar mereka, sementara mereka sendiri tidak suka kegiatan atau pembicaraannya diketahui orang lain. Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain." (QS. Al Hujuraat: 12)

Juga firmanNya: "Dan orang-orang yang menyakit orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58)

 

Sunnah dan hadits Nabi saw telah menegaskan haramnya segala jenis perilaku menyakiti orang dan su'udzan, saling membenci, hasad, memutus silaturrahmi dan saling berpaling.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah prasangka, karena prasangka merupakan ucapan paling bohong, jangan saling membicarakan dan memata-matai, jangan ingin memenangkan diri sendiri, jangan saling hasud, saling membenci dan berpaling. Jadilah hamba Allah yang saling bersaudara seperti diperintahkanNYa. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak mendzaliminya, tidak mengecewakannya dan tidak menghinanya, disinilah ketakwaan…di sinilah ketakwaan…(Nabi menunjuk dadanya). Seorang muslim sudah menyimpan benih kejahatan dengan hanya menghina saudara muslimnya, setiap muslim diharamkan atas muslim lain dalam hal: darahnya, kehormatan dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat jasadmu juga tidak melihat penampilanmu, tapi Allah melihat hatimu."

 

Hadits ini menunjukkan pentingnya memperkuat hubungan persaudaraan antar manusia dan pentingnya kekuatan sebuah masyarakat. Hadits juga mengandung wajibnya menjaga kehormatan muslim lain, tidak boleh terlibat dalam perilaku mendzalimi orang lain, menghina dan sombong terhadapnya, atau mengecewakannya. Diharamkan darah, harta dan kehormatan seorang muslim atas muslim lainnya. Jika seluruh manusia sudah menghormati moralitas sperti ini, niscaya mereka akan hidup dalam kedamaian dan cinta kasih. Jika mereka melanggarnya, maka fitnah, kegoncangan dan konflik pun tidak akan bisa dihindarkan. Yang dinilai dalam diri manusia adalah amal hakikinya bukan kepura-puraan dengan ucapan yang manis dan kata-kata yang penuh madu, bukan juga penampilan jasad yang menipu, pekerjaan palsu atau kata-kata yang lembut.

 

Mencari-cari aib dan cacat orang lain serta auratnya merupakan perbuatan yang paling buruk. Karena perilaku semacam ini akan menjerumuskan mereka ke jurang kerusakan dan selalu berkeinginan untuk merusak dan menyimpang.

 

Abu Daud meriwayatkan –sanad shahih— dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan ra, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya engkau jika membuka-buka dan mencari-cari aurat muslim lain berarti engkau telah merusak mereka, atau engkau hampir merusaknya."

Atau, wahai manusia jika engkau mencari-cari aib orang lain dengan memata-matainya atau menyelidikinya, maka sama saja dengan menjerumuskan mereka ke jurang kerusakan, atau engkau hampir melakukannya serta menyebabkan mereka menantang perasaan orang lain dan selalu cenderung untuk berbuat kejahatan dan kerusakan.

 

Para sahabat merupakan teladan yang paling mulia dalam hal melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangannya. Mereka tidak cepat-cepat menuduh orang lain dan tidak membolehkan memberikan had (hukuman) terhadap perbuatan yang masih syubhat sebelum yakin benar terjadi sebuah kejahatan atau dosa.

Abu Daud meriwayatkan dengan sanad menurut syarat Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas'ud ra, "Bahwa dia didatangi oleh seorang laki-laki tertuduh dan orang-orang mengata-ngatainya: 'si Fulan membasahi janggutnya dengan khamar'. Lalu Ibn Mas'ud berkata: kami dilarang untuk memata-matai, tetapi jika nampak sesuatu di mata kita, kita akan ambil (sebagai bukti)." Ini hadits hasan shahih.

 

Islam mengharamkan su'uddhan terhadap orang lain tanpa alasan atau tanpa keperluan, karena ini mengandung tuduhan palsu. Allah swt berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa." (QS. Al Hujurat: 12) Ini dikuatkan oleh hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling bohong." Atau, pelaksanaan hukum pengadilan itu harus berdasarkan keyakinan dan bukan prasangka. Karena asal sifat manusia itu adalah adil dan bebas dari tuduhan sampai bukti-buktinya kuat sehingga menetapkan dia sebagai tersangka. (Taufik Munir)


Saling Membenci itu Dosa

Posted On 08.50 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Kejernihan iman dan kesempurnaan Islam memerlukan kejernihan hati dari segala macam penyakit-penyakit hati. Yang paling khusus penyakit dengki dan hasad, keinginan untuk memutus tali silaturrahmi dan meninggalkan kerabat dan kenalan, keberpalingan dan keengganan, dominasi hawa nafsu manusia dan syahwatnya, juga keinginan untuk memenuhi bisikan dan kesesatan syetan.

 

Ikatan persaudaraan secara umum menuntut bertebarnya ruh cinta kasih dan toleransi, memaafkan segala kesalahan, tidak saling mencela dan mencaci, serta menghindari ketergelinciran dan kesalahan.

 

Rasa rendah diri seorang mukmin di hadapan mukmin lain merupakan jembatan penghubung yang paling mulia. Kondisi ini berbeda dalam kerangka hubungan antara kaum mukmin dengan non-mukmin, di mana dalam hal ini kaum mukmin harus selalu penuh dengan kemuliaan dan kekuatan dalam memerangi kejahatan dan permusuhan.

 

Hubungan antara kaum muslimin bercirikan adanya saling menyayangi dan berlemah lembut serta mengambil prinsip kemudahan dan toleransi, meninggalkan rasa tinggi hati dan ingin menang sendiri, takabbur serta ujub.

 

Bukti paling jelas tentang diakuinya prinsip-prinsip moralitas di atas adalah bahwa syari'at Islam telah melarang perilaku saling membenci, memutus tali silaturrahmi dan saling berpaling. Di bidang sosial syari'at Islam telah mengajarkan spirit persaudaraan dan kerjasama serta ishlah (saling memperbaiki). Allah swt berfirman: "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al Hujurat: 10). Juga firmanNya yang menerangkan tentang ahlul iman: "Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir." (QS. Al Maidah: 54)

Atau orang yang saling berlemah lembut dan saling menyayangi satu sama lain, sementara terhadap musuh yang kafir bersikap keras.

 

Ayat lain juga menyatakan: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al Fath: 29)

Atau bahwa kaum muslimin itu keras terhadap musuh dan tidak lemah supaya dapat menjaga izzah dan kehormatan diri dan negerinya.

 

Sedangkan tentang larangan saling membenci, hasad dan sebagainya di dalam hadits, adalah seperti hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Janganlah engkau saling membenci dan saling hasad, juga jangan saling memalingkan badan dan memutus tali silaturahmi. Jadilah engkau sebagai hamba Allah yang bersaudara, dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk meninggalkan saudaranya lebih dari tiga hari." Atau, jangan memendam rasa saling benci yang dapat mengotori hati dalam jiwa. Seseorang tidak boleh hasad (iri) terhadap orang lain, misalnya dengan menghendaki terputusnya nikmat dari diri orang tersebut. Juga jangan saling berpaling, atau seseorang tidak boleh memalingkan badannya dari saudaranya. Serta jangan saling memutus tali silaturahmi, atau jangan meninggalkan pertalian yang pada akhirnya akan menyebabkan saling membenci dan menghindar.

Tidak dihalalkan bagi seorang mukmin untuk meninggalkan atau memusuhi saudaranya, atau seorang muslim meninggalkan saudaranya tanpa komunikasi, ziarah atau bicara, karena hal itu dapat membuat murka Allah sang Rahman.

 

Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Pintu surga dibuka pada hari senin dan hari kamis, maka akan diampuni setiap hamba yang tidak syirik kepada Allah, kecuali seorang laki-laki yang di antara dia dan saudaranya terdapat permusuhan dan kebencian, dikatakan kepada malaikat: 'tundalah dua orang ini sampai mereka saling damai, tundalah keduanya sampai mereka berdamai'."

Dalam riwayat Muslim lain: "Perbuatan manusia diajukan setiap hari Kamis dan hari Senin." Hadits ini menunjukkan haramnya memutus tali persaudaraan tanpa sebab syar'ie, dan bahwa seorang yang meninggalkan mukmin lain atau memutus tali silaturrahmi dapat menahan dia untuk masuk surga.

 

Islam telah mengharamkan hasad, yaitu rasa iri dengan mengharap hilangnya nikmat dari seseorang, baik nikmat agama ataupun nikmat dunia, moril maupun materil, nikmat ilmiah ataupun nikmat social. Sesuai dengan firman Allah swt: "Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar." (QS. Annisa: 54)

 

Juga sesuai dengan sabda Nabi saw dalam hadits sebelumnya (muttafaq alaih) dari Anas: "Janganlah engkau saling membenci dan jangan saling menghasud…". Juga sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Jauhilah hasad, karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api membakar kayu." Atau "Rumput". Atau hindarilah hasud karena hasut dapat menghilangkan kebaikan pekerjaan shaleh, seperti halnya api melalap kayu atau rumput kering.

 

Hadits ini menunjukkan haramnya hasad, bahwa hasad juga merupakan dosa besar karena dapat menghapus segala kebaikan seperti halnya api melalap kayu dan rumput kering.

 

Bahaya yang ditimbulkan akibat hasad ini pertamanya akan kembali pada diri orang yang hasad. Pengaruhnya seperti virus yang dapat merusak fisik penghasud langsung. Sedang bagi orang yang dihasud, dia tidak akan menerima bahayanya kecuali dengan izin dan kehendak Allah swt. Perbuatan si penghasud terhadap seseorang pengaruhnya tidak akan timbul dalam diri orang yang dihasud, melainkan sebaliknya akibat dan bahayanya akan kembali pada diri penghasud itu sendiri.

 

Sikap saling membenci, saling menghasud, saling berpaling dan memutus silaturrahmi merupakan penyakit-penyakit hati yang sangat berbahaya. Bagi seorang muslim harus cepat menjauhkan diri dari penyakit-penyakit tersebut, segera membersihkan jiwa daripadanya, suapaya spirit cinta, kasih sayang dan persaudaraan menjadi menyebar di kalangan umat manusia. (Taufik Munir)


Jangan Menganiaya Manusia

Posted On 08.49 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Menganiaya orang lain baik yang hidup maupun yang sudah mati merupakan ciri primitif dan keterbelakangan, karena penganiayaan bisa menyebabkan reaksi yang bermacam-macam bahkan mungkin lebih buruk lagi. Di antaranya bisa menumbuhkan benih dendam, kedengkian dan perselisihan, dapat menghancurkan masyarakat dan memecah belah umat. Manusia bisa saling menganiaya, serta banyak lagi efek buruknya. Lagipula menganiaya orang tidak ada guna dan faedahnya, karena perilaku semacam ini dapat merusak dan menghancurkan.

 

Sementara itu, perilaku saling memaafkan, toleran dan menahan amarah merupakan ciri peradaban yang mulia, menunjukkan ketinggian akhlak dan jiwa, luasnya cakrawala, dan jauhnya pandangan dalam melihat masa depan.

 

Oleh karena itu al Qur'an melarang segala macam bentuk penganiayaan terhadap orang lain dan membebankan dosa dan dampak perilaku ini kepada diri penganiaya sendiri. Al Qur'an juga mengancam akan memberi balasan setimpal atas perbuatan mereka, yaitu neraka Jahannam. Di satu sisi al Qur'an memuji orang-orang pemaaf dan toleran, karena merekalah yang berperan menjaga ikatan persaudaraan, cinta dan kasih sayang serta prinsip bertetangga yang baik. Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab:58). Ayat ini berkenaan tentang haramnya menganiaya atau menyakiti, sedang tentang ajaran memberi maaf dan toleransi, maka Allah berfirman: "(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Al Imran: 134).

 

Sunah dan hadits Nabi saw juga mengharamkan perilaku menyakiti orang apapun bentuk dan motifnya. Apalagi menghina mayat tanpa hak dan tanpa maslahat syar'i, berdasarkan ayat tadi: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzab: 58), juga berdasarkan hadist-hadits Nabi sebelumnya yang berkenaan tentang haramnya melaknat diri manusia atau binatang tertentu. Juga sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, bahwa dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Janganlah engkau menghina orang yang telah mati, karena mereka telah sampai pada keputusan atas apa yang mereka lakukan semasa hidup." Atau, mereka telah berlalu dengan kebaikan dan keburukan apa yang mereka lakukan dahulu, maka tidak perlu lagi menghinanya, bahkan walaupun yang dihina seorang kafir sekalipun, karena ada kemungkinan dia mati dalam keadaan muslim. Kecuali orang yang telah ditetapkan teks-teks syar'ie bahwa dia mati dalam keadaan kafir, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.

 

Sunah Nabi telah meletakkan satu prinsip yang benar, beradab, manusiawi dan universal dalam menggambarkan dan menyatakan perkara hubungan sosial dan individual manusia. Dalam hadits muttafaq alaih diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al Ash ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Seorang Muslim adalah orang yang menjaga orang muslim lain dari lidah dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang berhijrah meninggalkan apa yang telah dilarang Allah."

Atau muslim sejati dan murni keislamannya adalah orang yang menjaga muslim lain dari penganiayaan yang dilakukan lidah dan tangannya sendiri, baik tangan sebenarnya seperti dengan memukul dan sebagainya, ataupun tangan metafor, seperti kekuasaan,pangkat dan wibawa. Sementara orang muhajir yang sempurna saat ini --setelah masa hijrah dari Mekkah ke Madinah usai-- adalah orang yang meninggalkan maksiat, hal-hal munkar dan segala hal yang dilarang Allah. Itu semua dilakukan sebagai bentuk ketaatan akan perintah Allah swt.

 

Hadits ini mengandung satu dasar sosial umum, menetapkan wajibnya menjauhi segala macam perilaku yang membahayakan orang lain, baik muslim atau non-muslim, juga menyatakan bahwa kesempurnaan Islam dicapai dengan cara mensucikan jiwa dari dosa-dosa dan kesempurnaan hijrah diraih dengan meninggalkan maksiat dan tetap taat kepada perintah Allah.

 

Islam tidak hanya cukup mengaramkan penyiksaan, bahkan Islam juga menyuruh kita untuk selalu berbuat kebaikan dan memberikan segala macam pertolongan dan kerjasama yang mulia, di samping juga memerintahkan kita untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan tetap bersikap baik walau kepada orang yang menyakiti kita.

 

Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaknya dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia mendatangi orang-orang yang juga suka didatanginya."

 

Hadits ini menunjukkan dua hal:

Pertama, perintah untuk beriman dan beramal shaleh serta tetap konsisten di dalamnya. Karena iman dan amal shaleh merupakan pancaran segala kebaikan dan kemuliaan, agar manusia bisa mengakhiri hidupnya dengan kebahagiaan dan keimanan. Allah swt berfirman yang menguatkan perintah ini: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Al Imran: 102)

 

Kedua, perintah untuk mempergauli manusia dengan cara yang disukainya.

Jika Islam dan iman sudah terkumpul, kemudian didukung lagi oleh amal shaleh yang bermanfaat bagi diri, umat dan masyarakat, dan manusia berinteraksi dengan etika dan akhlak sosial yang mulia, niscaya kebahagiaan yang melimpah akan terwujudkan, keamanan social akan terjaga, kehormatan dan kemuliaan umatpun akan tercipta dan terlindungi. Di mata umat lain, umat Islam akan terlihat lebih tinggi sehingga umat ini akan memiliki wibawa dan reputasi. Kerjasama yang dilakukan pun akan berdasarkan kebaikan dan hak, rasa saling percaya dan ketenangan, keadilan dan persamaan, cinta dan kasih sayang, persatuan dan kerjasama, sehingga perselisihan dan permusuhan akan hilang dan musnah. Racun-racun dan tipu muslihat akan terkikis diganti dengan kebahagian yang menyeluruh, kemakmuran dan kesejahteraan yang pada akhirnya kemajuan peradaban yang dibutuhkan pun akan tercapai. (Taufik Munir)


Banyak Orang Mengutuk dan Menghina

Posted On 08.47 by Al-Ishlahiyyah 0 komentar

Kebencian terhadap para pelaku maksiat boleh diekpresikan dengan cara mengucapkan laknat (kutukan) asal tidak ditujukan kepada orang tertentu. Dibolehkan juga untuk melaknat orang-orang yang biasa bermaksiat tanpa ditentukan orangnya. Semuanya itu dihalalkan untuk menekan orang-orang dzalim dan yang bermaksiat, serta mengingatkan mereka akan perlunya berhenti melakukan maksiat dan membawa mereka untuk beristiqamah. Dalam al Qur'an dan hadits Nabi saw banyak dalil yang membolehkan laknat secara umum semacam ini dengan syarat tidak menentukan orang dan tidak menyebut namanya.

Allah swt berfirman: "Ingatlah kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim." (QS. Huud: 18).

Dia juga berfirman: "Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: 'Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al A'raaf: 44) Ini adalah laknat atas satu golongan yang biasa identik dengan sifat dzalim, fasik dan kafir.

 

Dalam hadits shahih telah dinyatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Allah melaknat al waashilah[1] dan al mustaushilah[2]." Tidak ada beda antara semuanya dalam hukum haram tersebut, baik pelakunya tersebut istri seseorang ataupun bukan, sudah menikah ataupun belum. Karena hal ini dianggap merubah ciptaan Allah dan memalsukan serta menampakkan penampilan yang tidak sebenarnya untuk menarik hati suami.

 

Juga telah dinyatakan dalam hadits shahih lain, Nabi saw bersabda: "Allah melaknat pemakan riba." Allah juga melaknat para pelukis.

Nabi saw bersabda: "Allah melaknat orang yang merubah batas-batas tanah." Yaitu dengan cara merampas sebagian tanah tetangganya.

Beliau juga bersabda: "Allah melaknat pencuri yang mencuri telur." Juga bersabda: "Allah melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya."

Dan sabdanya: "Allah melaknat orang menyembelih tidak atas nama Allah."

 Tentang Madinah, beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan bid'ah di dalamnya, atau melindungi pembuat bid'ah, maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia."

Nabi juga berdoa: "Ya Allah, laknatlah kaum Ri'il, kaum Dzakwan, juga kaum 'Ushiyyah, karena mereka telah menentang Allah dan rasulnya." Ketiganya merupakan kabilah Arab yang suka membunuh dan menyukai peperangan.

 

Nabi juga bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi yang telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid."

Beliau juga bersabda: "Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan, dan perempuan yang menyerupai laki-laki." Sebagai mana termaktub dalam kitab "Riyaadhusshalihin".

 

Lafadz-lafadz hadits ini sebagiannya tercatat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dan sebagiannya lagi ada pada salah satu dari keduanya.

 

Diharamkan mencaci seorang muslim atau muslimah tanpa hak, sesuai dengan firman Allah swt: "Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al Ahzaab: 58)

 Atau mereka telah menanggung kebohongan yang besar dan dosa yang nyata.

 

Banyak sunah dan hadits Nabi menegaskan haramnya saling mencaci dan mencemooh. Di antaranya hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Saling mencaci di antara muslim merupakan kefasikan dan memerangi orang muslim adalah kekufuran." Atau, menghina seorang muslim dan menjelek-jelekkannya sama dengan fasik, atau keluar dari ketaatan pada Allah, dan dosa memeranginya sama dengan dosa kekufuran.

Hadits ini menunjukkan larangan untuk melaknat dan membunuh seorang muslim, karena perilaku semacam ini keluar dari garis persaudaraan Islam dan iman.

 

Hadits lainnya di antaranya adalah yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Dzar ra, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Seseorang tidak boleh menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekufuran, jika tidak, maka itu akan kembali pada dirinya sendiri apabila yang dituduh tidak fasik dan tidak kafir."

Atau bahwa tuduhan kafir dan fasik itu akan kembali kepada penuduhnya.

 

Ini merupakan bukti haramnya memfasikkan seseorang yang tidak fasik atau orang yang keluar dari keta'atan kepada Allah. Hadits juga menyatakan kafirnya seseorang yang menuduh seorang mukmin lain kafir. Atau dia akan terkena sendiri ucapannya.

 

Saling mencaci merupakan kejahatan yang keji. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: "Dua orang yang saling mencaci, maka yang memulai akan menanggung dosanya, sampai yang didzalimi dengan cacian itu juga ikut berbuat aniaya."

Atau orang yang memulai cacian tersebutlah yang menanggung dosanya, kecuali yang dicaci kembali membalasnya sampai yang pertama mencaci merasa lebih terhina.

 

Memang telah diketahui bahwa dibolehkan bagi orang yang dicaci untuk membela dirinya sendiri, sesuai dengan firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Annisa: 148) Akan tetapi bersikap sabar dan memaafkan itu lebih afdhal, sesuai dengan firmanNya: "Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (QS. As Syuura: 43)

 

Di antara etika Islam adalah tidak boleh menghina orang yang dikenakan had (hukuman yang telah ditetapkan syari'at). Karena had dalam Islam bertujuan untuk mendidik, bukan untuk menganiaya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, dia berkata: "Nabi saw didatangi seorang laki-laki yang mabuk, lalu beliau berkata: 'Pukullah orang ini!' Kemudian Abu Hurairah berkata lagi: Di antara kita ada yang memukulnya dengan tangan, ada juga dengan sendal, dan ada yang memukul dengan bajunya. Setelah orang tersebut pergi, sebagian kaum berkata: 'Allah mencela dan merendahkan kau!' Kemudian Nabi berkata: 'Jangan kau ucapkan ini dan jangan kau perbantukan syetan terhadap dirinya."

Atau, menghina seorang pemaksiat yang telah diberi sanksi sama dengan melaksanakan propaganda syetan yang telah menghiasi orang itu dengan maksiat. Jika orang-orang mendo'akannya agar rendah dan cela, maka berarti mereka telah mewujudkan keinginan dan maksud syetan tersebut.

 

Termasuk keadilan dan rahmat Allah swt jika Dia mengharamkan kedzaliman terhadap seseorang, bahkan terhadap pembantu sekalipun. Jika dilanggar, maka orang yang berlaku dzalim tersebut akan mendapatkan adzab hari akhirat. Sesuai dengan hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menuduh hambanya berzina, maka dia akan dikenakan had pada hari kiamat, kecuali yang tertuduh memang benar adanya."


Atau orang yang menuduh budaknya berzina tanpa hak, maka Allah akan menyiksanya di hari akhirat. (Taufik Munir)



[1] Al waashilah: Orang yang menyambungkan rambutnya dengan rambut manusia lain (wig)

[2] Al mustaushilah: Orang yang meminta agar rambutnya disambungkan dengan rambut orang lain.