27 September 2010

Kebaikan memang Harus Lestari


02.13 |


Perbuatan yang paling dicintai Allah adalah perbuatan yang dilakukan secara sinambung walaupun sedikit.
Agama itu mudah dan tidak susah. Di sini terkandung seruan jelas untuk bersikap moderat, toleran, menghindari kesulitan dan agar manusia selalu dalam hubungan yang kuat dengan Allah swt.

Pekerjaan yang sedikit merupakan ikatan dengan Allah, sementara yang banyak namun terputus-putus merupakan pemutus hubungan dengan Allah dan jauh dari Allah.

Banyak sekali manusia yang bertekad kuat untuk melakukan ibadah. Pada awalnya mereka bisa melaksanakannya dengan semangat. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semangat mereka menjadi pudar dan engkau lihat mereka terputus-putus dalam melaksanakan sebuah pekerjaan atau ibadah. Berbeda dengan orang yang pertama memulai sebuah pekerjaan dari sedikit dahulu, kemudian lama-kelamaan dia bisa menikmati ibadah dan munajat kepada Allah. Dengan demikian mereka semakin meningkatkan ibadahnya dan menambah kedekatannya kepada Allah, sehingga bisa dirinya meningkat ke tingkatan kesempurnaan dan mencapai puncak kepuasan beribadah.

Syariat telah menganjurkan untuk selalu konsisten dalam melakukan kebaikan; seperti shalat, puasa, zakat, sedekah, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang dicintai Allah, seperti berbuat perdamaian di kalangan manusia dan lain sebagainya.

Allah swt berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)
Atau merubah apa yang buruk dalam jiwa-jiwa mereka.

Syariat juga telah memperingatkan kita untuk tidak menunda-nunda atau memberhentikan sebuah pekerjaan, seperti halnya perempuan-perempuan bodoh yang menenun satu kain di pagi harinya kemudian berhenti pada siang harinya.
Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali.” (QS. An Nahl: 92).

Dalam kondisi ini tidak ada sama sekali hikmah dan akal, bahkan menunjukkan kebodohan dan kerusakan akal.

Di antara peringatan syar’i juga, seperti firman Allah: “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadid: 16).
Atau Jangan engkau ikuti perbuatan ahli kitab yang terdahulu, yang semakin lama jiwanya semakin dikuasai oleh syahwat duniawi dan berpaling dari Tuhannya. Hati mereka menjadi keras seperti batu atau bahkan sekeras-kerasnya. Banyak di antara mereka yang menjadi fasik dan keluar dari agama.

Allah juga berfirman tentang perilaku ahlul kitab: “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang yang fasik.”  (QS. Al Hadid: 27).

Jika kita beralih dari kawasan perintah dan larangan, anjuran dan peringatan menuju ke sisi praktis, maka kita akan temukan contoh-contoh dan pelajaran-pelajaran yang sangat jelas.
Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abullah bin ‘Amr bin al Al ‘ash ra, dia berkata: Rasulullah saw berkata kepadaku: “Wahai Abdullah, jangan engkau seperti fulan, dia bangun malam kemudian setelah itu ia meninggalkan bangun malam.”
Atau dia dahulu sering shalat tahajjud kemudian dia meninggalkan sama sekali apa yang telah biasa dilakukannya.

Ini merupakan bukti akan keutamaan mudawamah (konsistensi) dalam satu pekerjaan walaupun sedikit. Ini juga peringatan bagi orang yang meninggalkan ibadah yang telah biasa dilakukannya. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya kepedulian terhadap keta’atan dan ketakwaan dan lebih sibuk dengan kenikmatan dunia dan hawa nafsunya.

Kalian lihat sebagian manusia di zaman ini berambisi untuk melakukan sebuah kebaikan dan menyeru manusia lain untuk melakukan hal yang sama. Sampai pada saat yang dinanti dan proyek amal baik itu dimulai, dia malah lari dan melupakannya seakan sesuatu itu tidak pernah terjadi.

Ada lagi orang-orang yang konsisten dalam ibadah dan dzikir dengan tetap masih melakukan pekerjaan-pekerjaan duniawinya. Sesuai dengan firman Allah swt: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Inilah jalur yang moderat (pertengahan) dan menjaga agar selalu konsisten dalam seluruh pekerjaan walaupun sedikit. Dengan begitu seseorang tidak menghindari ketaatan dan tidak berlebih-lebihan. Dia menjadi moderat dan bersikap pertengahan, bekerja diam-diam, tenang dan tidak berlebihan. Inilah metode Wasathiyah (moderasi) dalam Islam yang menjadi dasar syariat Islam dan Al Qur’an. Dan itulah yang diajarkan Kitab Allah kepada kita dalam firmanNya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”  (QS. Al Baqarah: 286). # (Taufik Munir)


You Might Also Like :


0 komentar: