06 September 2010

MAA ADROOKA MAA?


17.17 |

Catatan: Taufik Munir

"Sesungguhnya Kami turunkan ia di Malam Qadr. Tahukah kamu apa itu Malam Qadr? Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan" (Al-Qadr: 1-3).

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kamilah yang menjadi pemberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Al-Dukhan: 3-6)

Dalam riwayat Ibnu Ishak, wahyu pertama pada awal surat al-Alaq turun pada bulan Ramadhan. Dan Rasulullah SAW, saat itu, sedang bertahannus di gua Hira.
Begitu banyak Hadis yang menyinggung perihal Lailatul Qadr, terutama tentang waktu terjadinya peristiwa besar itu. Dalam satu riwayat, Lailatul Qadr terjadi pada tanggal 21 Ramadhan. Sebagian lain, pada malam ke-27. Sementara yang lain mengatakan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada 10 terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan menurut mayoritas ulama menegaskan, Lailatul Qadar terjadi di seluruh malam bulan Ramadhan. Namun, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadr turun pada malam-malam terakhir bulan Ramadhan.

***

Apa sih Lailatul Qadr itu?

Kita sepertinya akan terus bertanya makna dibalik Lailatul Qadr. Tanpa sadar kita sendiri sedang mengulang sebuah pertanyaan yang tertuang dalam Kalamullah: wa maa adroka maa lailatul qadr? (Tahukah kamu apa itu Malam Qadr?). Sesuai dengan derivasi 'qadr' yang mengandung banyak arti, secara etimologis qadr diartikan taqdir (kepastian). Adapula yang mengartikan tadbir (perenungan). Adapula yang mengartikan qimmah: sebuah supremasi, puncak keagungan. Sebagian ulama lain menafsirkan lailatul qadr sebagai maqam (posisi). Meski terdapat keragaman tafsir, baik dari barisan ulama tafsir sendiri maupun dari kalangan empu bahasa, namun kedua makna terakhir ini dianggap paling relevan, karena sesuai dengan dahsyatnya malam Lailatul Qadr, peristiwa turunnya al-Quran, wahyu dan risalah. Tak ada satupun yang lebih besar dan lebih hebat dari malam itu. Tak ada sesuatupun keagungan yang ditunjukkan Tuhan kepada hamba-Nya. Seperti yang termaktub di atas, malam itu lebih baik dari seribu malam. Tentu saja kata “seribu malam” tidak selamanya menunjukkan tahdîd (limitasi bilangan waktu tertentu) seperti yang biasa kita kenal. Melainkan untuk menunjukkan taktsîr, yang berarti variatif atau plural. Itu berarti Lailatul Qadr adalah "lebih baik dari beribu-ribu bulan" pada kehidupan umat manusia. Tentu terlalu murah kita mengartikan Lailatul Qadr dengan makna lahiri yang amat kecil di mata Allah swt. Terlalu gegabah kita memberi arti yang tak pantas bagi kesyahduan Lailatul Qadr yang lebih mahal dari seribu bulan itu. Apakah tidak lebih baik kita pusatkan perhatian kita tidak pada 'cahaya dari langit' yang kita asumsikan sebagai Lailatul Qadr? Apakah tidak lebih baik jika kita bertanya sendiri: sudah siapkah bathin kita untuk menerima Lailatul Qadr? Bagaimanakah kesiapan mental, kejernihan hati, ketulusan jiwa, keadilan pikiran, kepenuhan iman kita, serta totalitas iman dan kepasrahan jiwa kita? Bertapalah dengan puasa, bersunyilah dengan i'tikaf, berkontemplasilah bersama penciptaan-Nya.

Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadr, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat. (HR. Bukhari-Muslim)

***

Uh, betapa sombongnya manusia. Karena kedunguan dan kedangkalan nalarnya dalam mengetahui Lailatul Qadr, mereka sendiri akhirnya melupakan hakekat malam teristimewa itu, ia lalai akan keagungannya. Dengan pongahnya mereka berseliweran di jalan-jalan, berdansa di klub-klub, bercanda, bernyanyi dan bercengkerama antar muda-mudi, yang tak ada manfaatnya di dunia terlebih lagi di akhirat.

Karena itu ketika mereka melalaikan malam berkah di bulan Ramadhan, maka itu berarti mereka melupakan mutiara yang paling indah dan kehilangan kebahagiaan dan kedamaian hakiki --ketenangan hati, sakinah dalam rumah tangga, dan ketentraman sosial-- yang dianugerahkan Islam. Mereka tak akan mendapatkan penggantinya dari pintu-pintu bendawi yang menganga, peradaban yang kering akan makna spiritualisme. Semua akan luluh lantak kendati penciptaan produk-produk mercusuar mencapai pada tarap paling puncak sekalipun. Semua musnah meskipun dibanjiri dengan beraneka ragam fasilitas hidup yang menggiurkan.

Kita diberikan “mandat” oleh Allah swt untuk tidak 'menganggap enteng' Lailatul Qadr. Rasulullah SAW sebagai suri tauladan menghidupkan malam dengan kepasrahan jiwa, menghiasi malam dengan zikir dan dan doa yang teduh untuk menghidupkan kembali nostalgia yang indah itu agar kita mampu menggapainya, mencapai luksuri dunia. Allaahumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anna ya kariim. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Mulia. Maka ampunilah kami, wahai Yang Mulia.[] Taufik Munir


You Might Also Like :


0 komentar: