27 September 2010

Mengapa Harus Malu?


02.05 |

Berbicara tentang rasa malu belakangan ini sudah menjadi aneh, karena manusia sudah salah faham tentang konsep kebebasan dan penghargaan terhadap makna keberanian moral. Mereka telah salah dalam memahami prinsip menghormati orang lain dan memperbaiki hubungan di antara mereka. Sehingga kadang keburukan menjadi merajalela, melampaui batas norma dan etika dalam setiap kondisi dan situasi.

Walau begitu, rasa malu akan tetap masih menjadi adab yang sangat tinggi dalam setiap manusia dengan beragam tingkat dan derajatnya, tua muda, perempuan dan laki-laki. Manusia biasanya akan merasa nyaman dengan orang yang menjunjung tinggi rasa malunya. Ada pepatah mengatakan: “Jika engkau tak malu maka lakukan sesukamu.”

Hakikat rasa malu seperti yang dikatakan para ulama adalah satu etika yang mendorong manusia untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan menahannya untuk berlaku kurang dalam melaksanakan hak-hak orang lain.

Abul Qasim al Junaid berpendapat bahwa rasa malu adalah orang melihat nikmat dan kelebihan di satu sisi dan di sisi lain melihat adanya kekurangan dalam diri, akhirnya timbullah satu kondisi yang di sebut malu.

Jika masalahnya berhubungan dengan hak, agama atau hukum syar’ie tertentu, maka tidak perlu ada rasa malu dalam hal ini. Manusia dituntut untuk mengucapkan yang hak, membela keadilan, menghormati agama dan menjaga syariat serta hukum-hukum Allah, karena Allah telah mengajarkan kita agar tetap berani dalam hak dan kebenaran, berterus terang dalam berkata yang benar.
Allah swt berfirman: “Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS. Al Ahzab: 53).

Allah juga berfirman dalam menerangkan sesuatu secara ilmiah yang bisa diambil pelajarannya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (QS. Al Baqarah: 26).

Rasa malu itu seiring dengan keimanan dan bersumber darinya. Karena iman merupakan permata asal, dan permata tidak pernah berkarat serta akan terpancar darinya segala keutamaan dan kebaikan.

Rasa malu itu tidak akan membawa kecuali kebaikan. Inilah yang telah diajarkan oleh Nabi saw, seperti yang diriwayatkan dalam hadits muttafaq alaih dari Ibn Umar ra, bahwa Rasulullah saw melewati seorang laki-laki dari kaum Anshar yang tengah menasihati adiknya tentang rasa malu. Lalu Rasulullah saw bersabda: ‘Biarkan dia karena rasa malu itu sebagian dari iman’.”
Atau bahwa rasa malu menunjukkan kesempurnaan iman, karena orang yang malu akan menjauhi perbuatan maksiat dan bersegera melakukan ketaatan.

Lagi pula rasa malu merupakan fitrah manusia yang akan tumbuh dan berkembang seiring dengan kadarnya dalam menjalankan etika dan moralitas syari’ah dan sejauh ia memiliki akhlak yang terpuji. Telah diyakini  bahwa Islam adalah agama fitrah sekaligus agama moral.

Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Umran bin Hushain ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Rasa malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Rasa malu itu kebaikan seluruhnya.” Atau: “Rasa malu itu semuanya merupakan kebaikan.”

Tidak aneh jika rasa malu dikategorikan sebagian dari iman, karena iman memiliki bagian-bagian dan tingkatan-tingkatan. Semakin tinggi rasa malu maka semakin menjadi bukti akan kuatnya keimanan. Semakin tipis rasa malu, maka akan menjadi ciri lemahnya iman seseorang, rendah suara keimanannya dan keimanannya tidak bisa membimbingnya ke jalan adab dan kemuliaan.

Tentunya ini tidak akan menjadi kebaikan bagi individu dan masyarakatnya. Dalam hadits muttafaq alaih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Iman itu memiliki 60 sekian bagian, yang lebih utama adalah mengucapkan: ‘la ilaaha illallah’. Dan yang paling kecil bagiannya adalah: menyingkirkan duri dan kerikil dari jalan. Dan rasa malu merupakan sebagian dari iman.”
Atau bagian iman yang paling utama dan yang paling banyak pahalanya serta tempatnya paling tinggi di mata Allah adalah: menyatakan syahadat tauhid, yaitu dengan mengucapkan: “La ilaaha illallah, muhammadurrasulullah”. Sementara bagian yang paling sedikit pahalanya adalah menyingkirkan hal-hal yang berbahaya di jalanan seperti batu, duri, tanah, debu, kotoran dan lain sebagainya.

Hadits ini menunjukkan bahwa iman bagaikan pohon yang rindang yang memiliki cabang dan ranting yang sangat banyak. Dan bahwa rasa malu merupakan satu tingkatan dari iman serta salah satu cabangnya yang paling lembut, karena rasa malu memiliki pengaruh yang signifikan dalam jiwa dan kehidupan serta di tengah-tengah masyarakat.

Nabi Muhammad saw merupakan teladan yang paling tinggi dalam masalah akhlak, di antaranya adalah rasa malu ini. Sungguh menakjubkan sifat malu yang ada dalam diri beliau. Seperti yang diriwayatkan dalam hadits muttafaq alaih dari Abu Said al Khudri ra, dia berkata: “Rasulullah saw itu lebih memiliki sifat malu bahkan dari seorang perawan dalam kamarnya sekalipun, jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, kita akan tahu hal ini dari wajahnya.”

Ini merupakan bukti betapa beliau sangat memiliki rasa malu. Beliau adalah sosok pembawa risalah yang Allah sucikan hatinya dan Allah bimbing dengan keimanan. Beliau juga akan merasa malu jika keimanan dirusak. Jika beliau membenci satu perbuatan, ini akan terlihat dari ekspresi wajahnya yang mulia. (Taufik Munir)


You Might Also Like :


0 komentar: