12 September 2010

Tradisi dan Tragedi Pemaafan


02.47 |

::: Taufik Munir

Secara alamiah, manusia berpotensi jatuh dalam kubangan salah dan dosa. Kadang kesalahan itu sangat fatal, berefek negatif besar dengan sejumlah kerugian yang amat besar pula. Namun, betapapun sederhananya melakukan kesalahan atau betapapun lamanya perbuatan itu dilakukan, jiwa ini akan terus terombang-ambing nervous, gundah, dan resah sebagai produk dari kesalahan yang diperbuat pada masa lalu. Semua luapan emosi yang bergolak itu seakan menuntut sebuah “pembebasan”. Pembebasan itulah kemudian harus melalui sebuah mekanisme prosesi yang dalam Islam dikenal dengan "i’tizar", yang berarti apologi atau meminta maaf (kepada manusia), disamping “istighfar” (kepada Allah swt).
Apapun bentuk kesalahan itu harus dimerdekakan dengan i'tizar tadi, bahkan kendatipun kekeliruan tersebut telah berlangsung dalam rentang waktu bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad. Semua harus melewati permintaan maaf.
Di sisi lain tiap kekeliruan pasti melukai nurani. Nurani bukan anggota dari tubuh yang kasat mata ini, melainkan salah satu organ ruh, bahkan ia adalah “hati” ruh. Manakala nurani ini tergores, ia tidak akan berfungsi normal, kecuali bila diobati agar pulih seperti sediakala.
Permohonan maaf merupakan solusi dan pengobatan terbaik terhadap tiap kesalahan manusia. Ia adalah obat penyakit hati ketika sang hati merasakan kekeliruan yang diperbuat dan harus diobati.
Disanalah letak “keseimbangan” itu, antara kejatuhannya dalam kesalahan dan permaafan dari kesalahan itu. Kalau stabilitas itu mati, maka kehidupan ini sudah beremigrasi ke rimba belantara: manusia menjelma menjadi makhluk mahabuas, dan dunia dibiarkan mandul berfikir tentang masa depan yang indah penuh mimpi, suka dan cita.
Permohonan maaf atau permaafan itu sendiri yang menciptakan manusia sadar akan kemanusiaannya, memberinya energi untuk melanjutkan misi, menganugerahinya harapan bahwa kehidupan adalah sumber cahaya dan kebajikan, bukan sumber gulita dan kejahatan.

***
Hikayat ini dimulai pada tahun 1431. Pada saat itu di Perancis dikejutkan oleh munculnya seorang gadis jelita nan dewasa meski usianya masih belia. Gadis itu bernama Jeanne D’Arc, baru 17 tahun. Gadis tersebut berdiri di salah satu pengadilan intelijen yang dipimpin hakim Perancis yang bisa 'dibeli' Inggeris untuk memvonis Jeanne dengan hukuman mati: dengan cara dibakar hidup-hidup!
Jeanne pernah mengomandoi pasukan Perancis dalam serangan mematikan menghadapi Inggeris. Kepada pasukannya, Jeanne sejak dini sudah menanamkan benih-benih iman yang tulus kepada Tuhan dan cinta tanah air. Singkat cerita, akhirnya pasukan Jeanne berhasil mengalahkan pasukan Inggeris yang pernah menyerang dan menjajah Perancis tersebut.
Di bawah komando seorang wanita yang berseragam pria itu, pasukan Perancis melancarkan serangan bertubi-tubi dan berhasil meluluhlantakkan benteng pertahanan musuh.
Di tangan Jeanne Perancis merdeka, sementara Inggeris terkapar kalah. Kini pihak Inggeris memutar kepala untuk membalas kesumat. Salah satunya mempersiapkan strategi baru dengan membeli para politisi Perancis dan menyuap beberapa tokoh agama yang ‘sakit’. Inggeris berhasil mengeksploitasi tokoh agama Perancis dengan kemewahan duniawi: harta, tahta, dan perbawa. Selanjutnya Inggeris menjalin perjanjian dengan pihak Perancis. Tuntutan Perancis satu: Inggeris harus menarik diri dari tanah itu. Padahal, di balik layar, Inggeris mengendap-endap, siaga menjerat dengan grand design baru terhadap gadis ABG yang mengantarkan kemenangan negaranya tersebut.
Benar, Jeanne akhirnya ditarik ke meja hijau. Vonis sudah menantinya: hukum bakar hidup-hidup! Daftar tuduhannya pun sangat fatal, yaitu tidak mempercayai Tuhan dan mengintip pembicaraan gereja. Ada juga tuduhan yang naif: memakai seragam pria!
Dengan berani namun bersahaja Jeanne melancarkan pembelaan. Tuduhan terakhir itu dijawabnya dengan enteng: “saya mengenakan seragam pria, karena Inggeris menjebloskan saya ke bui yang tak ada seorangpun di dalamnya selain kaum pria. Lain halnya kalau saya dimasukkan ke kerangkeng wanita, tentu saya akan mengadaptasi diri dengan seragam wanita”. Sebuah argumentasi sederhana tapi masuk akal untuk membebaskan diri dari jerat-jerat tuduhan itu.
Tapi dewan hakim sudah dijejali suap, terkontaminasi pretensi busuk dan memendam niat buruk. Mereka sudah ditekan guna menghukum mati dan membakar dirinya. Mereka si empunya hati yang picik, gila harta dan personalitas kesejatian yang miskin. Sementara Jeanne si pemilik integritas diri yang kuat, keberpijakan pada nurani yang bersih, spiritualitas yang kaya, keberanian yang membumbung, berusaha menolak sikap para penggede yang ternyata kerdil itu.
Pengadilan Luar Biasa mengeluarkan vonis yang tidak biasa: Jeanne dibakar hidup-hidup hingga ajal tiba! (Manusia manakah yang tidak meneteskan air mata menyaksikan kisah hidupnya?).
Itu terjadi pada tahun 1431. Tapi kemudian sejarah mencatat bahwa vonis itu salah alamat. Sebuah kesalahan besar yang tidak bisa diterima akal dan hati yang sehat. Pada 1449 ---setelah berselang 18 tahun atas sanksi terhadap Jeanne---, ibundanya yang berusia senja menghadap pengadilan dan meminta kasus anaknya ditinjau kembali. Isabella yang berusia 76 tahun itu berpandangan bahwa anak satu-satunya itu bukanlah pelaku tindak kriminal agama dan politik seperti yang dituduhkan, melainkan saksi.
Kala itu faktor-faktor tekanan pihak Inggeris menjadikan posisi keberpihakan pengadilan Perancis semakin kuat, sementara kasus Jeanne sendiri yang diteror kecemburuan musuh, iri hati dan kesumat Inggeris di sepanjang hidupnya itu semakin terkubur bersama waktu.
Lalu pengadilan yang baru akhirnya mengeluarkan keputusan kontroversial: mengampuni ‘dosa-dosa’ masa lalu Jeanne, menganggap hukuman yang dijatuhkan suatu kekeliruan, dan memutuskan bahwa Jeanne adalah saksi, bukan penjahat! Pada tahun 1456 (25 tahun sesudah pembakaran), pengadilan baru mengeluarkan pengampunan.
Tahun 1920 ---lima abad setelah pembakaran Jeanne---, Persekutuan Gereja se-Perancis berkumpul dan mengumumkan bahwa vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan yang pertama dianggap keliru, dan Jeanne sama sekali tidak bersalah. Menurut asosiasi Gereja itu, Jeanne adalah biarawati salah satu gereja terkenal di kota itu. Kemudian dalam sejarah gereja ia dikenal dengan nama Vierge Orleans (Si Perawan dari Orleans), mengenang daerah Orleans yang direbut Jeanne saat bertempur menghadapi Inggeris.
Peristiwa keji itu yang dialami Jeanne D’Arc sudah berlangsung sangat lama. Generasi baru terus bermunculan. Dan, memang sudah banyak terlupakan dari kejadian itu, namun fakta sejarah akan terus berbicara.

***

200 tahun setelah pembakaran Jeanne, tepatnya tahun 1633 muncul seorang anak manusia super-jenius, Galileo Galilei namanya. Ia pun sama: dijebloskan ke kezaliman mahkamah akibat ulah konspirasi buruk gereja.
Galileo, menurut pengakuan sejarawan, memproklamirkan temuannya berdasarkan eksperimentasi yang melelahkan secara saintis, pencarian yang tak kenal henti dan tentu saja melewati berbagai pengamatan seputar fenomena alam secara akurat. Dia pula yang pertamakali menemukan bahwa bumi tidak tinggal diam melainkan terus berotasi pada porosnya dan berevolusi di sekeliling matahari. Dan mataharilah pusat peredaran bumi, bukan sebaliknya. Namun para agamawan melihat dari sisi dogma teologis yang tentu saja sangat sensitif. Dengan sadis akhirnya Galileo diseret ke pengadilan dengan tuduhan kafir dan tidak percaya Tuhan.
Sebelum dicampakkan ke meja hijau, pada masa itu Galileo mengabadikan pikirannya dalam buku yang disebarkan ke berbagai belahan dunia. Si jenius itu ketika diseret ke pengadilan sudah berusia senja dan tak mampu memikul resiko penyiksaan bertubi-tubi. Karena itu ia sodorkan pengakuan kesalahan teorinya, yang sebenarnya terbukti memang benar.
Hakim pengadilan menyatakan bahwa bumi itu diam, pusat alam semesta, dan matahari berputar di sekitarnya. “Ini yang dikatakan Alkitab yang suci”, seloroh hakim. Gelileo menjawab: “bumi bukan pusat galaksi. Dia berotasi dan berevolusi, sementara kitab suci tidak bisa kami pahami secara lahiriah. Karena itu, sebaiknya kita menafsirkan kembali tiap kosakata seperti yang ditunjukkan arti tersirat yang terdapat dalam kalimat itu”.
Maka, matilah Galileo.
200 tahun setelah pembunuhan Galileo ---tepatnya pada tahun 1835--- gereja Italia menyodorkan keputusan penting: “menghapus semua karya Galileo dari daftar buku terlarang, membebaskannya dari segala fitnah yang dituduhkan, menghormati semua inovasi sebagai kekayaan besar yang turut menyumbangkan intelektualitas umat manusia, dan menghormati semangat serta kontribusinya dalam ranah ilmu pengetahuan, serta memohon maaf atas vonis yang terlanjur dijatuhkan bahwa dirinya atheis."
Demikianlah, manusia meminta maaf akan kekeliruan dan kebodohannya sendiri terhadap hak kebebasan ilmiah Galileo. Perlahan namun pasti, Galileo kini memperoleh yang diimpikan banyak orang: prioritas, nilai, dan penghormatan yang sesungguhnya. Sayangnya, semua didapatkan setelah ia mati!

***

Dalam sejarah pemikiran juga terdapat kisah serupa.
Pada tahun 1925, penulis sekaligus pemikir Islam terkenal, Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya yang monumental “al-Islam wa Ushul al-Hukm”. Dalam buku itu Ali menulis bahwa khilafah tak pernah ada dalam teks-teks keagamaan. Dengan alasan itu umat Islam boleh memilih sistem pemerintahan yang sesuai sehingga bisa mewujudkan dan menaungi kepentingan-kepentingannya.
Umat Islam tercengang! Begitupula lembaga pendidikan tertua di dunia, Al-Azhar, merasa gerah dengan terbitnya buku tersebut. Reaksi di lapisan masyarakat lebih marak lagi, banyak yang mencapnya murtad!
Padahal ide yang dicetuskan buku itu cukup jelas: secara eksplisit Ali menyemangati umat Islam untuk berijtihad dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan suatu sistem politik yang ideal bagi kebangkitan dan kemajuan umat. Beberapa pandangannya disertai format yang komunikatif, ada ruang dialog dan munaqasyah, serta tidak memberikan celah sedikitpun kepada prosekusi, mempidana atau mencekoki siapapun agar mengikuti pendapatnya.
Namun rupanya buku itu terbit disaat raja Fuad tengah berambisi menduduki singgasana khalifah setelah runtuhnya khilafah Islamiyah (dinasti Ottoman) di Turki tahun 1924. Kemudian Raja Fuad membujuk sebagian ulama untuk memberangus pemikiran ‘nyeleneh’ syekh Ali Abdur Raziq.
Lalu digelarlah sidang yang beranggotakan 24 orang. Muhammad Sayyid Kailani, dalam “Fushul Mumti’ah” mencatat beberapa hal mengenai suasana sidang. Konon, ketika Syekh Ali Abdur Raziq mengucapkan salam sewaktu memasuki mahkamah, semua tetap bergeming.
Setelah terjadi 'perseteruan' sengit dalam sidang, hakim menjatuhkan vonis dan mengeluarkannya dari Majlis Ulama. Bukan hanya itu, Ali juga dilarang menjabat pekerjaan umum. Namun kehendak raja Fuad di atas segala-galanya. Ambisi raja itu jauh melampaui kehendak hakim yang memvonis syekh Ali, mempidanakan, juga menelanjanginya dari jabatan umum dan kesaksian ilmiahnya. Kalau saja kedudukan keluarga syekh Ali tidak berada di papan atas, sanksi dan berbagai siksa pasti ia alami lebih dahsyat lagi.
Masa terus berganti. Dan dosa-dosa lampau telah melewati masa 21 tahun. Raja Fuad sudah tiada, sementara estafeta kepemimpinan sudah digenggam Faruq. Raja ini kemudian melihat bahwa negara sedang membutuhkan seorang ulama yang dihormati dan disegani rakyat. Lagi pula, jabatan wazirul awqaf (menteri agama) masih kosong.. sementara raja Faruq melihat belum ada seorang ulamapun yang kompatibel dengan jabatan di kementerian itu. Tapi tidak ada seorang pun ulama yang alim, berpengetahuan agama luas, berwawasan tinggi dan bercakrawala pengalaman bejibun, selain Ali Abdur Raziq. Tapi bagaimana mungkin syekh Ali menduduki kursi kementerian, sementara ia seorang “tersangka tindak pidana keagamaan”? Atau dengan kata lain, bagaimana mungkin mengangkat seorang yang “bermasalah” masuk dalam jajaran kabinet kerajaan Faruq?
Jalan keluar satu-satunya adalah memberikan maaf atas ‘kesalahan’ masa silam syekh Ali, dan memohon maaf atas vonis yang dijatuhkan pengadilan itu.
Kemudian barisan ulama yang terdiri dari komunitas anggota jama’ah ulama besar al-Azhar, anggota Majlis Tinggi al-Azhar, dan sekumpulan syekh seluruh fakultas al-Azhar memohon kepada raja Faruq agar mengembalikan kehormatannya sekaligus memaafkan semua keputusan yang dikeluarkan komunitas ulama yang terjadi 20 tahun yang lalu.
Lima hari setelah permintaan ulama al-Azhar itu, kerajaan secara resmi mengangkat syekh Ali Abdur Raziq sebagai menteri agama. Tidak lama kemudian syekh Ali diberi gelar “Basya”, yang berarti “yang mulia”.

***

Secara humanistik, manusia ditakdirkan tidak bisa melepaskan diri dari dosa-dosa masa lalu, karena kehilapan dan dosa adalah sifat alamiah manusia. Tapi, manusia juga tidak akan bisa melepaskan diri dari permohonan maaf manakala terbukti bersalah. Kesalahan, khilaf dan dosa-dosa itu hanyalah bagian dari tabiat alami manusia, sedangkan permintaan maaf adalah kewajiban, seberapapun terlambatnya. Karena jiwa manusia tidak akan pernah mampu bersabar atau berkompromi dengan dosa-dosa hingga kematian menjelang. Selamat Hari Raya Fitri 1431 H. Mohon maaf lahir-bathin! []


You Might Also Like :


0 komentar: